Senin 15 Oct 2018 15:37 WIB

Korea Utara Perdalam Hubungan dengan Rusia

Rusia dan Cina meminta DK PBB meninjau ulang sanksi terhadap Pyongyang.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Pemimpin Korea Utara (Korut) Kim Jong-un (kanan) dan Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov saat bertemu di Pyongyang, Korut, Kamis (31/5).
Foto: Valery Sharifulin/TASS News Agency Pool Photo via AP
Pemimpin Korea Utara (Korut) Kim Jong-un (kanan) dan Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov saat bertemu di Pyongyang, Korut, Kamis (31/5).

REPUBLIKA.CO.ID, PYONGYANG – Pemerintah Korea Utara (Korut) akan memperluas hubungan dan kerja sama dengan Rusia pada 2019. Hal itu disampaikan Menteri Luar Negeri Korut Ro Yong-ho dalam acara peringatan 70 tahun hubungan diplomatik Korut-Rusia di Pyongyang pada Jumat (12/10).

“Pihak Korea (Utara) berencana memperluas hubungan bilateral lebih lanjut (dengan Rusia) pada 2019, ketika kami merayakan ulang tahun ke-70 penandatanganan perjanjian kerja sama ekonomi dan dan budaya, sehingga tradisi persahabatan dan tetangga yang baik dapat diwarikan dari generasi ke generasi,” ujar Ri, seperti dikutip laman Sputnik.

Ri mengatakan sangat menghargai fakta bahwa Moskow mendukung upaya negaranya dalam menciptakan kestabilan situasi di Semenanjung Korea. Sebelumnya, pemimpin tertinggi Korut Kim Jong-un juga telah menyatakan kesediaan mengembangkan hubungan strategis dengan Rusia. Hal itu diungkapkan Kim ketika bertemu Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov dan ketua Majelis Tinggi Rusia Valentina Matviyenko.

Pada Rabu (10/10), Pemerintah Rusia bersama Cina meminta Dewan Keamanan PBB mempertimbangkan dan meninjau kembali sanksi terhadap Pyongyang. "Dengan mempertimbangkan langkah-langkah penting menuju denuklirisasi yang dibuat oleh Republik Rakyat Demokratik Korea (nama lain Korut), pihak-pihak percaya Dewan Keamanan PBB harus mulai meninjau kembali sanksi terhadap Korut," kata Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Igor Morgulov, Wakil Menteri Luar Negeri Cina Kong Xuanyou, dan Wakil Menteri Luar Negeri Korut Choe Son-hui dalam komunikenya seusai bertemu di Moskow.

Ketiga negara itu menyatakan tidak ada cara untuk menyelesaikan krisis di Semenanjung Korea selain melalui jalur damai dan diplomatik. Rusia, Cina, dan Korut menilai proses denuklirisasi Semenanjung Korea telah maju selangkah demi selangkah. Hal itu membutuhkan tanggapan atau respons timbal balik dari pihak-pihak yang terlibat dan berkepentingan di Semenanjung Korea.

Proses denuklirisasi telah berjalan setelah Kim Jong-un bertemu secara terpisah dengan Presiden Korsel Moon Jae-in dan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Kim dan Moon bertemu pertama kali di Panmunjeom pada April lalu.

Pertemuan tersebut menghasilkan Deklarasi Panmunjeom. Deklarasi itu dinilai bersejarah karena memuat komitmen Korut yang untuk pertama kalinya menyatakan siap melakukan denuklirisasi.

Sementara Kim dan Trump bertemu di Singapura pada Juni. Terdapat empat butir kesepakatan yang terlahir dari pertemuan itu. Dua di antaranya adalah tentang komitmen AS dan Korut menjalin hubungan baru yang mengarah pada perdamaian serta komitmen Pyongyang melakukan denuklrisasi secara lengkap dan menyeluruh.

Kendati proses denuklirisasi telah berjalan, AS tetap menyerukan agar sanksi terhadap Korut dipertahankan. Sanksi hanya bisa dicabut sepenuhnya setelah Korut benar-benar melakukan denuklirisasi secara menyeluruh dan terverifikasi.

Sikap AS tersebut membuat Korut cukup gusar. Pyongyang merasa terlalu dipaksa melakukan denuklirisasi oleh Washington. Di sisi lain, AS seolah tak menaruh kepercayaan terhadap komitmen denuklirisasi Korut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement