Kamis 29 Nov 2018 11:24 WIB

Korban UU ITE Merasa Hak Berbicara di Indonesia Terancam

Ada lebih dari 380 warga yang dikenai hukuman menggunakan UU ITE hingga Oktober 2018.

Red:
abc news
abc news

Awal bulan November ini Paguyuban Korban Undang-undang ITE, atau Paku ITE, berkumpul di Bali. Mereka mengkhawatirkan semakin banyaknya orang-orang yang terjerat UU ITE.

Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik pertama diperkenalkan di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Pada awalnya ditujukan untuk melindungi warga Indonesia dari kejahatan dunia maya, namun sejumlah pakar dan lembaga kemasyarakatan menilai UU ITE yang direvisi tahun 2016 justru mengancam kebebasan berbicara di Indonesia.

Lembaga Southeast Asia of Freedom Expression Network, atau SAFEnet, mencatat ada lebih dari 380 warga yang dikenai hukuman menggunakan UU ITE hingga Oktober 2018.

Hampir 50 persen dari jumlah tersebut terkait upaya pencemaran nama baik, sementara sisanya adalah penistaan dan penyebaran kebencian.

Mereka yang mengaku telah dikriminalisasikan oleh UU ITE meminta agar pemerintah menghapus sejumlah "pasal karet" yang tercantum, karena ketidakjelasan pasal.

"Pasal-pasal tersebut sangatlah multi tafsir, tidak pernah jelas definisi apa itu pencemaran nama," ujar Furqan Ermansyah dari Paku ITE.

"Juga pasal-pasal inilah yang telah disalahgunakan," ujarnya kepada Erwin Renaldi dari ABC News di Melbourne.

"Saya juga merasa jika hak kita untuk berbicara jadi terancam," ujarnya.

 

Terdapat duplikasi hukuman dalam undang-undang

Kasus terbaru terkait UU ITE yang mendapat sorotan adalah proses hukum yang sedang dijalani Baiq Nuril.

Guru honorer di SMAN 7 Mataram ini pernah merekam pembicaraan saat ia dipanggil dengan pimpinannya yang menjabat sebagai kepala sekolah.

Alasannya adalah untuk melindungi dirinya dari pelecehan seksual secara verbal.

"Ia seringkali berbicara yang berada di luar nalar sebagai seorang kepala sekolah, baik di telepon dan saat ketemu," ujar Nuril dalam sebuah video yang dikirimkan PAKU ITE kepada ABC.

"Ini tidaklah adil, karena saya merasa sama sekali tidak bersalah."

Di tingkat Pengadilan Negeri Mataram Nuril dinyatakan tidak terbukti bersalah, tetapi Mahkamah Agung RI membatalkan keputusan pengadilan.

Nuril dijatuhi hukuman penjara selama 6 bulan serta denda sebesar Rp 500 juta, meski eksekusinya hingga saat ini masih tertunda.

Lembaga Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengatakan bukti yang digunakan di pengadilan adalah salinan rekaman bukan rekaman asli, sehingga ada kemungkinan bukti telah diedit.

"Kasus Ibu Nuril sama sekali tidak layak dipersidangkan," ujar Anggara Suwahju, Direktur Eksekutif ICJR.

Menurutnya kasus ini kembali menjadi bukti jika hukum di Indonesia tidak bisa membedakan ranah pribadi dan publik.

Ia juga mengatakan adanya duplikasi dari produk perundang-perundangan, seperti beberapa pasal dalam UU ITE yang sebenarnya sudah tercakup dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Penambahan undang-undang yang disahkan dibawah pemerintahan saat ini membuatnya terkesan lebih supresif.

"Terlepas siapa presidennya, tetapi masyarakat akan mengenang jika keadilan dan hukum dibawah pemerintahan Presiden Jokowi alami kemunduran," ujarnya.

'Seperti burung yang indah tapi bisu'

Sejumlah tekanan telah ditujukan kepada Presien Joko Widodo untuk memberikan amnesty kepada Nuril, bukannya malah meminta Nuril untuk melakukan proses peninanjauan kembali kasusnya.

Pekan lalu, Presiden Jokowi sudah mengatakan jika ia tidak bisa mencampuri urusan persidangan dan meminta semuanya untuk menghargai proses peradilan.

Furqan Ermansyah, yang dikenal dengan nama Rudi Lombok pernah juga terjerat UU ITE di tahun 2015.

Saat itu ia mengunggah kritikan soal biaya perjalanan dinas badan pariwisata di Nusa Tenggara Barat di jejaring sosial Facebook.

"Kritikan itu berdasarkan fakta, tetapi telah digunakan oleh mereka yang lebih memiliki kekuasaan untuk meredam orang-orang dibawahnya," kata Furqan.

Ia berharap jika pemerintah perlu lebih mensosialisasikan UU ITE.

"Seperti halnya Nuril, banyak korban UU ITE yang tidak terlalu paham soal UU ITE sebelumnya."

Selain tak ingin lagi melihat korban yang dikriminalisasikan oleh UU ITE, Furqan juga merasa khawatir akan masa depan kebebasan berekspersi di Indonesia.

"Saya ibaratkan Indonesia seperti memiliki burung-burung yang indah, tapi burung-burung ini bisu."

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement