Jumat 11 Jan 2019 08:00 WIB

Australia Belum Pastikan Suaka untuk Rahaf Alqunun

Menteri Luar Negeri Australia ke Bangkok terkait kasus pencari suaka asal Saudi.

Rep: Lintar Satria/ Red: Nur Aini
Remaja putri asal Arab Saudi kabur dari keluarganya saat berlibur bersama keluarga di Kuwait.
Foto: VOA
Remaja putri asal Arab Saudi kabur dari keluarganya saat berlibur bersama keluarga di Kuwait.

REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Menteri Luar Negeri Australia Marise Payne mengatakan tidak ada tenggat waktu dalam penilaian kasus Rahaf Mohammed Alqunun, remaja putri berusia 18 tahun asal Arab Saudi yang meminta suaka ke Australia. Qunun menolak dipulangkan ke Arab Saudi karena takut dibunuh keluarganya. 

Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) sudah merujuk Qunun ke Australia untuk dipertimbangkan mendapatkan status sebagai pengungsi. Qunun kini masih berada di Bangkok di bawah perlindungan dan perawatan UNCHR. 

"Mengikuti rujukan UNCHR, Australia kini sedang menuju langkah yang perlu kami lakukan sehubungan dengan proses asesmen dan ketika sudah selesai pengumuman akan segera dilakukan," kata Payne di Bangkok, Kamis (10/1). 

Qunun tiba di Thailand pada Sabtu (5/1) lalu. Ia ditolak masuk ke negara itu ketika bermaksud menuju Australia untuk mencari suaka. Lalu ia mulai mengunggah pesan di media sosial Twitter di area transit di bandara Suvarnabhumi, Bangkok. 

Dalam pesannya tersebut, ia mengatakan sedang 'melarikan diri dari Kuwait' dan nyawanya dalam bahaya jika ia dipulangkan ke Arab Saudi. Beberapa jam kemudian pesan tersebut tersebar ke seluruh jaringan aktivis. 

Seluruh dunia pun menonton upaya Qunun mempertahankan diri agar tidak dipulangkan ke Arab Saudi dengan memblokir pintu hotel tempatnya singgah di Bangkok. Pada Senin (7/1), otoritas Thailand mengizinkannya masuk ke Bangkok. 

Kasusnya menarik perhatian seluruh dunia terhadap peraturan Arab Saudi yang begitu ketat kepada perempuan. Hal itu termasuk peraturan yang mengharuskan perempuan mendapatkan izin dari laki-laki dari keluarganya untuk berpergian. 

Para aktivis hak asasi manusia mengatakan peraturan tersebut dapat membuat para perempuan terjebak sebagai tawanan dalam keluarga yang kejam. Kasus Qunun ini muncul ketika hubungan Arab Saudi dengan negara-negara Barat menegang.

Hubungan Arab Saudi dengan negara-negara Barat memburuk setelah kasus pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi pada bulan Oktober 2018 lalu mencuat. Selain itu banyak negara-negara Barat yang juga mulai keberatan dengan tindak-tanduk militer Arab Saudi di perang Yaman yang menciptakan krisis kemanusiaan.

Kedatangan Payne ke Thailand ini juga untuk menyelesaikan kasus pemain sepakbola asal Bahrain Hakeem AlAraibi. Pemain sepakbola itu memiliki status imigran di Australia tapi ia ditahan di bandara Bangkok pada tahun lalu ketika baru tiba untuk berbulan madu. 

Bahrain mengajukan permintaan ekstradiksi AlAraibi. Kini laki-laki tersebut masih dalam tahanan di Thailand dan menunggu sidang ekstradiksinya. Dalam kesempatan ini Payne bertemu dengan Wakil Perdana Menteri sekaligus Menteri Kehakiman Thailand Prajing Juntong dan Menteri Luar Negeri Thailand Don Pramudwinai. 

"Saya juga sangat mengapresiasi kesempatan ini untuk mengungkapkan keprihatinan Australia atas penahanan dan kemungkinan pemulangan Pak Hakeem AlAraibi ke Bahrain, pemerintah Thailand menyadari pentingnya persoalan ini untuk Australia," kata Payne.

Di Bahrain, AlAraibi didakwa 10 tahun penjara atas perusakan pos polisi. Organisasi Sepakbola Dunia (FIFA) mengatakan AlAraibi harus dibebaskan dan dikembalikan ke Australia. AlAraibi bermain di klub sepakbola Melbourne Pescoe Vale di liga strata kedua Australian League.

"Ia membantah melakukan perbuatan yang dituduhkan pemerintah Bahrain, ia dalam bahaya jika ia dipulangkan ke Bahrain," kata pengacara AlAraibi di Thailand, Nadthasiri Bergman. 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement