Jumat 11 Jan 2019 18:39 WIB

Cina akan Permudah Akses Wisatawan Asing ke Tibet

Amerika Serikat menekan Cina agar membuka akses ke Tibet.

Red: Nur Aini
Keindahan alam Tibet.
Foto: flickr
Keindahan alam Tibet.

REPUBLIKA.CO.ID, TIBET -- Pemerintah Cina di Tibet mengatakan akan meningkatkan jumlah dan memangkas waktu tunggu bagi wisatawan asing yang ingin berkunjung ke wilayah yang sangat terbatas itu. Hal itu terjadi di tengah tekanan baru dari Amerika Serikat (AS) untuk membuka akses lebih banyak bagi pejabat dan jurnalis AS.

Presiden AS Donald Trump mengesahkan Undang-Undang Akses Timbal Balik ke Tibet pada Desember. Aturan itu untuk menekan Cina guna membuka wilayah itu setelah Beijing menolak masuknya pejabat AS ke wilayah itu, yang dianggap membatasi akses ke Tibet.

Beijing pada saat itu mengecam undang-undang tersebut karena dianggap mencampuri urusan dalam negeri Chna, dan berisiko "mencederai" hubungannya dengan Washington. Cina dan AS terlibat perundingan untuk mengakhiri sengketa dagang yang berisiko memperkeruh hubungan di seluruh dewan, termasuk masalah seperti keamanan, pengaruh dan HAM.

Pemerintah Tibet akan mempersingkat waktu yang diperlukan bagi wisatawan asing untuk memperoleh akses ke wilayah itu sampai separuhnya. Cina juga akan meningkatkan jumlahnya sebesar 50 persen, kata Qizhala, Kepala Pemerintah wilayah tersebut, dalam laporan kerja tahunan yang diterbitkan oleh surat kabar resmi Tibet Daily pada Jumat.

Wisatawan dari luar Cina harus mengajukan izin khusus untuk dapat berkunjung ke daerah pegunungan terpencil Tibet. Izin biasanya diberikan kepada wisatawan yang melakukan perjalanan dengan agen wisata yang disetujui tetapi jarang diberikan kepada jurnalis atau diplomat.

Beijing telah mengatur Tibet dengan aturan kerasnya sejak pasukan Partai Komunis China dikerahkan ke wilayah itu pada 1950 dalam aksi yang mereka sebut "pembebasan damai".

Qizhala juga berjanji bahwa pemerintahan di Tibet akan "mengambil sikap tegas dalam perang melawan pergerakan Dalai". Ia merujuk kepada pemimpin spiritual yang mengasingkan diri, Dalai Lama.

"Kami harus meningkatkan tata kelola kuil dan mekanisme layanan untuk mendukung dasar agama Buddha Tibet agar tidak dimanipulasi oleh kekuatan asing," katanya, dan pengelolaan aktivitas keagamaan harus mencegah "pemberontakan" lain berlatar belakang agama.

Sejumlah kelompok HAM dan aktivis luar negeri mengatakan warga etnis Tibet menghadapi pembatasan cukup luas di bawah pemerintahan Cina. Komisaris Tinggi PBB untuk HAM mengatakan pada Juni bahwa situasinya "kian memburuk dengan cepat".

Tahun ini menandai peringatan 60 tahun aksi perlawanan Tibet terhadap pemerintah Cina pada 1959. Pendukung kemerdekaan Tibet dan Dalai Lama sebelumnya telah menggelar protes untuk menandai peringatan perlawanan tersebut, tindakan yang memicu kemarahan Cina.

Cina memandang Dalai Lama, pemimpin spiritual Buddha Tibet yang melarikan diri ke pengasingan di India setelah gagal melakukan perlawanan, sebagai separatis yang berbahaya.

Peraih Nobel Perdamaian itu membantah telah mendukung aksi kekerasan dan mengatakan bahwa dia hanya menginginkan otonomi penuh di Tibet.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement