Sabtu 12 Jan 2019 22:05 WIB

Ketika Muslim Uighur Dipaksa Buang Air Besar Dalam Tahanan

Dari bangun pagi sampai pukul 10 malam, tahanan dikumpulkan dan tak boleh bergerak.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Endro Yuwanto
Mantan Penghuni Kamp Uighur Gulbachar Jalilova (kiri) memberikan paparan saat kunjungan di Kantor Republika, Jakarta, Jumat (11/1).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Mantan Penghuni Kamp Uighur Gulbachar Jalilova (kiri) memberikan paparan saat kunjungan di Kantor Republika, Jakarta, Jumat (11/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seorang Muslim Uighur yang pernah ditahan selama 16 bulan di kamp reedukasi Xinjiang, Gulbahar Jalilova (54 tahun) mengungkapkan apa yang ia alami saat berada di tahanan selama satu tahun lebih. Ia datang ke Indonesia untuk mengumumkan kepada dunia tentang kondisi Muslim Uighur di Xinjiang, Cina.

Jalilova mengatakan, ia dan beberapa Muslim Uighur lainnya ditempatkan di sebuah ruangan. Semua kegiatan apa pun hanya di dalam ruangan itu. Termasuk buang air kecil maupun besar.

"Tak bisa keluar karena semua kegiatan hanya di dalam ruangan. Buang air kecil dan besar dilakukan di ruangan itu," ujar Jalilova melalui penerjamah, dalam konferensi pers bertajuk 'Kesaksian dari Balik Penjara Uighur' di Jakarta, Sabtu (12/1).

Jalilova juga mengaku diinterogasi setelah tiga bulan ditangkap. Tahanan lainnya ada yang diinterogasi setelah menunggu selama satu tahun.

Sejak bangun pagi sampai pukul setengah 10 malam, para tahanan dikumpulkan dan tidak boleh bergerak, hanya melihat kepada dinding. Di dinding itu ada kamera CCTV dan layar televisi. Di tayangan TV itu ada Presiden Cina Xi Jinping. "Ketika menoleh dianggap oleh penjaga melaksanakan ibadah lalu disiksa, dihukum," tutur Jalilova.

Selama di ruangan itu, tahanan tidak diberi makan maupun minum. Jalilova dan tahanan lain merasa amat kelaparan dan kehausan. Bahkan berat Jalilova sampai turun 20 kg. "Mereka hidup dalam kelaparan dan kehausan dan ketika mereka mengeluh kelaparan dan kehausan mereka dikira berbicara satu sama lain lalu mendapat siksaan," jelasnya.

Ketika ada satu orang yang sudah lanjut usia pingsan, kemudian tahanan lain ingin menolongnya, maka yang hendak menolong itu mendapat siksaan. "Semuanya diborgol dengan besi, lalu di kakinya diberikan besi 5 kg. Semuanya seperti itu," lanjut Jalilova.

Bahkan, Jalilova kembali menceritakan, di dalam tahanan sempat ada yang melahirkan. Setelah itu ibu dan anaknya dipisahkan. Si anak sama sekali tidak diperbolehkan diberi ASI. "Di penjara saya bersama perempuan dari usia sekitar 14 tahun sampai 80 tahun. Saya mengalami stres, syok," katanya.

Selain itu, seluruh tahanan juga disuntik untuk kemudian diambil darahnya. Para tahanan tidak ada yang mengetahui untuk apa darah itu. Pengambilan darah ini dilakukan per pekan hingga per bulan.

Ada satu hal yang betul-betul ingin dijaga oleh perempuan asal Kazakstan itu, yakni amanah dari para tahanan. Sebelum dibebaskan dengan bantuan lobi dari keluarga dan Pemerintah Kazakstan, para tahanan menitip pesan agar menginformasikan apa yang sebetulnya terjadi di kamp reedukasi Xinjiang, dan yang dialami Muslim Uighur.

"'Kami yang di sini tidak tahu bagaimana keluarnya, mohon beritahukan bahwa kami sedang mendapatkan penindasan dan kezaliman'," kata Jalilova meniru ucapan para tahanan.

Proses awal Jalilova ditahan, yakni saat ia menghabiskan dua dekade terakhir berbisnis di perbatasan Cina-Kazahstan. Pada Mei 2017, ia tiba-tiba ditangkap di Kota Urumqi, Cina, dengan tuduhan mentransfer dana secara ilegal sebesar 17 ribu yuan (3/500 dolar AS) dari Cina dan Turki.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement