Ahad 13 Jan 2019 00:40 WIB

Kisahkan Kesengsaraan di Kamp Cina, Muslimah Uighur Menangis

Mantan penghuni kamp reedukasi Uighur, Gulbachar Jalilova sedang berada di Indonesia.

Rep: Muhyiddin/ Red: Andri Saubani
Mantan Penghuni Kamp Uighur Gulbachar Jalilova (kiri) memberikan paparan saat kunjungan di Kantor Republika, Jakarta, Jumat (11/1).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Mantan Penghuni Kamp Uighur Gulbachar Jalilova (kiri) memberikan paparan saat kunjungan di Kantor Republika, Jakarta, Jumat (11/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan penghuni kamp reedukasi Uighur di Provinsi Xianjang Cina, Gulbachar Jalilova (54 tahun) mengunjungi Kantor Ar-Rahman Qur'anic Learning (AQL) Center di Tebet, Jakarta Selatan, Sabtu (12/1) malam. Muslimah Uighur ini menceritakan kisahnya saat ditahan oleh Pemerintah Cina di kamp selama satu tahun enam bulan sepuluh hari.

Berbagai kesengsaraan yang dihadapinya diungkapkan semua di hadapan puluhan aktivis muslim yang diundang oleh pihak AQL. Dia bercerita dengan menggunakan bahasa Uighur, kemudian diterjemahkan ke Bahasa Turki oleh Ketua Majelis Nasional Turkistan Timur, Sayit Tumtruk dan diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Indonesia oleh Mahasiswa Indonesia yang kuliah di Turki, Ridwan.

Dengan gaya bicaranya yang cepat, Jalilova tampak semangat menjelaskan tentang penderitaan dirinya dan muslim Uighur lainnya. Namun, saat dia bercerita tentang apa yang dialaminya di ruangan sebesar 7x3x6 itu, air mata Jalilova tiba-tiba mengucur.

"Maaf saya teringat dari saudara-saudara saya di sana," ujar Jalilova sembari mengelap air matanya.

Dia tak kuasa mengingat penderitaan di ruangan itu bersama muslimah Uighur lainnya. Di sana, Jalilova dilarang menggunakan bahasa Uighur dan diwajibkan menggunakan bahasa Cina.

Jalilova mengatakan, dirinya mengalami penyiksaan di ruangan itu selama kurang lebih 16 bulan. Pada suatu hari, dirinya dan teman-temannya juga pernah diinterogasi selama 24 jam tanpa segelas minum atau roti, sehingga dia pun mengalami kelaparan.

Sementara, saat malam hari dirinya dan teman-temannya harus bergantian tidur karena ruangan itu dihuni sekitar 40 sampai 50 orang. Untuk buang air besar atau air kecil juga harus dilakukan di ruangan tersebut, sehingga semua orang di ruangan itu bisa melihatnya.

"Di sini udara kita sedikit panas di sini (Indonesia), tapi di sana kita sangat kedinginan tanpa selimut dan bantal ," ujarnya sembari mengelap air matanya.

Menurut dia, dirinya dan teman-temannya juga selalu di awasi kamera pengintai atau CCTV. Bahkan, di ruangan itu terdapat perekam suara untuk mendeteksi segala gerak-gerik yang ada di ruangan itu.

"Sekecil apapun kesalahan yang dilakukan, kita akan diisolasi ke sebuah ruangan tanpa cahaya yang mana di sana juga terdapat banyak tikus," katanya, masih menangis tersedu-sedu.

Jalilova juga sempat mengungkapkan kesengsaraannya ini saat berkunjung ke kantor Harian Republika di Jalan Warung Buncit 37, Jakarta Selatan, Jumat (17/12) kemarin. 

Jalilova diciduk aparat Cina di Kota Urumqi, Provinsi Xianjang setelah ketahuan bahwa dirinya adalah keturunan etnis Uighur, meski dia berasal dari Kazakhtan-Cina Xianjang. Saat ditahan, ia bingung dengan tuduhannya yakni mentransfer sejumlah dana ilegal dari Cina dan Turki ke Xinjang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement