Rabu 30 Jan 2019 03:00 WIB

56 Juta Orang Membutuhkan Makanan di Daerah Rawan Konflik

Konflik berkepanjangan menciptakan tingkat kelaparan yang parah.

Rep: Fergi nadira/ Red: Dwi Murdaningsih
Seorang anak Yaman yang terkena wabah kolera dirawat di sumah sakit setempat di Sana'a, Yaman. Menurut laporan PBB tiga juta balita Yaman terancam malnutrisi akibat konflik berkepanjangan antara dua pihak yang masing-masing didukung Arab Saudi dan Iran.
Foto: Yahya Arhab/EPA
Seorang anak Yaman yang terkena wabah kolera dirawat di sumah sakit setempat di Sana'a, Yaman. Menurut laporan PBB tiga juta balita Yaman terancam malnutrisi akibat konflik berkepanjangan antara dua pihak yang masing-masing didukung Arab Saudi dan Iran.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON - Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat, sekitar 56 juta orang membutuhkan bantuan pangan dan mata pencaharian yang mendesak di delapan zona konflik di seluruh dunia. Laporan tersebut dicatat oleh Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) dan Program Pangan Dunia (WFP) untuk Dewan Keamanan PBB.

Menurut laporan PBB itu, negara Yaman, Sudan Selatan, Afghanistan, Republik Demokratik Kongo (DRC) dan Republik Afrika Tengah adalah lima zona konflik yang paling mengalami kerawanan kekurangan pangan pada akhir 2018.

"Hubungan antara konflik dan kelaparan masih sangat kuat," kata laporan menegaskan seperti dikutip Anadolu Agency, Selasa (29/1).

Resolusi 2417 Dewan Keamanan PBB adalah kecaman kelaparan yang jelas sebagai alat perang. Hal itu berisi seruan bagi semua pihak dalam konflik bersenjata untuk mematuhi kewajiban mereka di bawah Hukum Humaniter Internasional guna meminimalkan dampak tindakan militer terhadap warga sipil, termasuk pada produksi dan distribusi makanan, serta untuk akses kemanusiaan dalam cara yang aman dan tepat waktu kepada warga sipil yang membutuhkan makanan, bantuan nutrisi dan medis.

"Jutaan pria, wanita, dan anak-anak yang kelaparan akibat konflik bersenjata tidak akan berkurang kecuali dan sampai prinsip-prinsip dasar ini dipatuhi," tulis laporan itu.

Tiga zona konflik lainnya seperti Somalia, Suriah dan Danau Chad tercatat ada sedikit peningkatan ketahanan pangan yang sejalan dengan peningkatan keamanan. Meski, laporan tersebut mengatakan, terjadi kemunduran besar menyoal pangan warga sipil selama awal 2019 di seluruh wilayah Danau Chad Basin.

Direktur FAO Jose Graziano da Silva mengatakan, laporan PBB dengan jelas menunjukkan dampak kekerasan bersenjata terhadap kehidupan dan mata pencaharian jutaan pria, wanita, anak lelaki dan anak perempuan yang terjebak dalam konflik.

Direktur Eksekutif WFP David Beasley mendesak akses yang lebih baik dan lebih cepat di semua zona konflik untuk menjangkau lebih banyak orang yang membutuhkan. "Tapi yang paling dibutuhkan dunia adalah mengakhiri perang," kata Beasley.

Laporan tersebut juga mengatakan, bahwa kekerasan terhadap pekerja kemanusiaan meningkat. Sehingga memaksa organisasi-organisasi bantuan untuk menunda operasi mereka dan menghilangkan populasi rentan bantuan kemanusiaan.

Meningkatnya jumlah konflik berkepanjangan di dunia, menciptakan tingkat kelaparan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Perang tiga tahun di Yaman merupakan demonstrasi nyata soal pentingnya menghentikan permusuhan dalam mengatasi keadan darurat keamanan pangan terbesar di dunia.

Pihak-pihak bertikai di Yaman, dalam sebuah laporan menyatakan mengabaikan kesulitan dan bahaya dari status yang dilindungi fasilitas dan personel kemanusiaan yang melakukan pekerjaan mencegah kelaparan.

Sementara di DRC, meiliki jumlah tertinggi kedua yang sangat rawan kekurangan pangan yang dipicu oleh konflik bersenjata. Di Sudan Selatan, perselisihan sipil telah berlangsung selama lebih dari lima tahun. Tekanan kekurangan pangan diperkirakan akan dimulai lebih awal dari biasanya. Mereka membutuhkan dukungan mendesak hingga lebih dari 5 juta antara Januari dan Maret 2019.

Di Afghanistan, persentase penduduk pedesaan Afghanistan yang menghadapi defisit pangan akut diproyeksikan mencapai 47 persen (atau 10,6 juta orang) pada Maret tahun ini. Hal itu terjadi jika bantuan darurat yang menyelamatkan jiwa tidak diberikan. Sementara Di Republik Afrika Tengah, konflik bersenjata tetap menjadi pendorong utama kelaparan pada tahun 2018, dengan 1,9 juta orang mengalami kekurangan pangan yang parah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement