Selasa 31 Jul 2018 15:44 WIB

Ledakan Bom Mobil Filipina, 11 Orang Tewas

basilan disebut sebagai benteng kelompok Abu Sayyaf.

Rep: Marniati/ Red: Teguh Firmansyah
Police Line (ilustrasi)
Foto: www.nbcmiami.com
Police Line (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Sebuah bom mobil meledak dan menewaskan 11 orang lainnya, Selasa (31/7). Ledakan terjadi di pos pemeriksaan militer di Filipina selatan. Para pejabat menuduh serangan dilakukan oleh militan ISIS.

Seorang juru bicara militer mengatakan, korban tewas di antaranya pelaku, tentara, lima paramiliter dan empat warga sipil. Korban sipil termasuk seorang ibu dan anaknya. Adapun korban luka berjumlah tujuh orang.

Ledakan itu terjadi di Pulau Basilan. Saat itu pasukan keamanan menghentikan kendaraan dan berbicara kepada sopir van. Sopir yang hanya sendiri di van itu kemungkinan yang meledakkan bom.

Basilan adalah benteng kelompok Abu Sayyaf dan merupakan rumah dari mantan pemimpin ISIS di Asia Tenggara. Pemimpin ISIS itu dibunuh pasukan Filipina tahun lalu setelah perburuan lebih dari 15 tahun.

Pengeboman kendaraan sangat jarang terjadi di Filipina meskipun kekerasan separatis dan kelompok garis keras telah mengguncang wilayah Mindanao. Seorang tentara yang diwawancarai di radio DZMM mengatakan, pengemudi berbicara dalam dialek yang tidak dikenal.

Namun, juru bicara militer Kolonel Edgard Arevalo mengatakan, pasukan keamanan sedang menyelidiki dan tidak ada dasar sejauh ini untuk menyimpulkan bahwa insiden itu adalah pengeboman bunuh diri atau dilakukan oleh orang asing.

Baca juga, Empat Petempur ISIS Tewas di Filipina.

Basilan adalah daerah yang tidak boleh dikunjungi bagi sebagian besar orang Filipina. Negara-negara Barat biasanya memperingatkan warga untuk menjauh karena Abu Sayyaf dan serangan militer militan.

Abu Sayyaf terkenal sering menyandera nelayan dan kru kapal komersial. Mereka tak segan memenggal kepala tawanan Barat yang tebusannya tidak dibayar. Presiden Rodrigo Duterte  telah menawarkan pembicaraan damai dengan beberapa faksi Abu Sayyaf.

Penawaran Duterte datang dua hari setelah ia menyetujui undang-undang yang akan mengizinkan minoritas Muslim di wilayah itu untuk menciptakan daerah otonom baru dengan kekuatan politik dan ekonominya sendiri.

Juru bicaranya, Harry Roque, mengutuk pemboman dan pembunuhan warga sipil. Ia menyebut penggunaan kekuatan ilegal, bahkan pada saat konflik bersenjata.

Senator Risa Hontiveros menyebut serangan itu sebagai tindakan pengecut. Ia berharap serangan  tidak menggagalkan upaya muslim di wilayah itu untuk menciptakan otonomi mereka.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement