Rabu 12 Sep 2018 18:02 WIB

Cina Desak AS Hentikan Tuduhan Sandera Muslim Uighur

AS mempertimbangkan sanksi kepada pejabat dan perusahaan Cina terkait Xinjiang.

Rep: Marniati/ Red: Nur Aini
Petugas setempat memasangkan kamera CCTV di sudut  kota tua Khasgar, Daerah Otonomi Xinjiang Uighur, China.
Foto: Thomas Peter/Reuters
Petugas setempat memasangkan kamera CCTV di sudut kota tua Khasgar, Daerah Otonomi Xinjiang Uighur, China.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Cina pada Rabu (12/9) mendesak Amerika Serikat (AS) untuk menghentikan prasangka terhadap wilayah Xinjiang. Pernyataan tersebut disampaikan setelah pemerintahan Trump mempertimbangkan sanksi terhadap pejabat dan perusahaan Cina karena pelanggaran HAM.

"Cina secara konsisten dan tegas menentang Amerika Serikat menggunakan isu-isu terkait Xinjiang untuk campur tangan dalam urusan dalam negeri Cina," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Geng Shuang.

Ia mengatakan jika laporan media benar, maka Cina mendesak pihak yang terkait untuk menghormati fakta-fakta, meninggalkan prasangka, dan berhenti melakukan tindakan yang merugikan hubungan Cina-AS. Menurut Geng, semua orang di Cina menikmati kebebasan beragama sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.

Beijing telah mengatakan Xinjiang menghadapi ancaman serius dari militan Islam dan separatis yang merencanakan serangan. Hal itu menimbulkan ketegangan antara minoritas Uighur dan anggota mayoritas etnis Han Cina.

Kementerian Luar Negeri AS mengatakan pihaknya sangat prihatin atas tindakan keras Cina terhadap minoritas Muslim di wilayah Xinjiang.

Dilansir The Guardian, Rabu (12/9), kampanye  keras Cina atas nama terorisme telah menahan satu juta orang. Sebagian besar etnis Uighur, Kazakh, dan kelompok minoritas lainnya. Mereka ditahan di jaringan kamp rahasia.

"Kami sangat terganggu oleh tindakan keras yang memburuk, tidak hanya pada orang Uighur (tapi juga) orang-orang Kazakh, Muslim lainnya di wilayah itu di Cina," kata juru bicara departemen luar negeri Heather Nauert dalam jumpa pers.

Pada akhir Agustus, sekelompok anggota parlemen AS meminta Menlu AS Mike Pompeo dan Menteri Keuangan Steven Mnuchin menjatuhkan sanksi terhadap tujuh pejabat Cina. Mereka termasuk Chen Quanguo, ketua partai Komunis di Xinjiang, yang telah mengawasi tindakan keras tersebut.

Pada 2016, Chen memimpin demonstrasi "anti-teror" massal yang dilakukan di kota-kota terbesar di kawasan itu. Hal itu melibatkan puluhan ribu pasukan paramiliter dan polisi.

Salah satu inisiatifnya adalah membangun ribuan pos pemeriksaan polisi  di Xinjiang. Para aktivis HAM juga telah mengkritik kondisi darurat militer dan pengumpulan DNA massal di wilayah itu

Bulan lalu, panel HAM PBB mengaku telah menerima laporan bahwa satu juta etnis Uighur ditahan di kamp-kamp rahasia di Xinjiang. PBB menyerukan agar tahanan dibebaskan.

Sanksi AS dapat diberlakukan berdasarkan Global Magnitsky Act, undang-undang federal yang memungkinkan pemerintah AS untuk menargetkan pelanggar hak asasi manusia di seluruh dunia dengan membekukan aset AS, larangan perjalanan AS, dan larangan orang Amerika melakukan bisnis dengan mereka.

Media yang dikelola negara Cina, Global Times menulis dalam editorial Rabu bahwa pasukan asing berusaha "mengucilkan" Cina dengan menggunakan agama. "Beruntung Cina begitu kuat sehingga pasukan-pasukan itu dengan bodohnya berteriak-teriak dan hanya dapat menambah sedikit tekanan dari opini publik, tetapi impian mereka tentang kekuasaan panjang atas hak hukum pada akhirnya adalah sebuah fatamorgana," tulis surat kabar itu.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement