Senin 24 Sep 2018 16:47 WIB

Panglima Militer Myanmar Abaikan Seruan PBB

Laporan tim pencari fakta Dewan HAM PBB menyebut militer Myanmar melakukan genosida

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Pengungsi Muslim Rohingya melintasi sungai Naf di perbatasan Myanmar-Bangladesh, untuk menyelematkan diri mereka dari genosida militer Myanmar. (foto file)
Foto: AP/Bernat Armangue
Pengungsi Muslim Rohingya melintasi sungai Naf di perbatasan Myanmar-Bangladesh, untuk menyelematkan diri mereka dari genosida militer Myanmar. (foto file)

REPUBLIKA.CO.ID, YANGOON – Panglima tertinggi militer Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing mengatakan PBB tidak memiliki hak untuk mencampuri urusan di negaranya. Hal itu ia ungkapkan setelah tim Misi Pencari Fakta Independen PBB menyerukan agar Min Aung Hlaing dan jenderal-jenderal militer Myanmar lainnya dituntut melakukan genosida terhadap etnis Rohingya.

“Tidak ada negara, organisasi atau kelompok yang memiliki hak untuk ikut campur dan membuat keputusan atas kedaulatan suatu negara. Berbicara untuk mencampuri urusan internal (menyebabkan) kesalahpahaman,” ujar Min Aung Hlaing dalam sebuah pidato pada Ahad (23/9) dan dikutip surat kabar yang dikelola militer Myanmar, Myawady.

Ia pun mengabaikan tuntutan PBB agar militer Myanmar keluar dari kehidupan politik Myanmar. Min Aung Hlaing mengatakan Tatmadaw (militer Myanmar) tidak memiliki niat untuk mengekstraksi diri dari politik di Myanmar. “Lihatlah praktik demokrasi di dunia, negara-negara menerapkan sistem demokrasi yang cocok untuk mereka. Tatmadaw akan melanjutkan upayanya untuk mencapai perdamaian abadi,” ujarnya.

Kemudian terkait etnis minoritas, termasuk Rohingya, Min Aung Hlaing tetap mempertahankan narasi dan pandangan bahwa mereka adalah imigran atau orang luar. Ia bahkan tetap mengucapkan kata “Bengali” yang merujuk pada Rohingya. Min Aung Hlaing bersikeras bahwa hukum yang tidak mengakui identitas mereka akan tetap diterapkan.

Tim Misi Pencari Fakta Independen PBB juga telah menerbitkan laporan tentang krisis Rohingya yang terjadi di Rakhine pada akhir Agustus lalu. Dalam laporan itu, disebut bahwa apa yang dilakukan militer Myanmar terhadap etnis Rohingya mengarah pada tindakan genosida. Laporan itu menyerukan agar para pejabat tinggi militer Myanmar, termasuk Min Aung Hlaing, diadili di Mahkamah Pidana Internasional (ICC).

Saat ini lebih dari setengah juta etnis Rohingya masih mengungsi di Bangladesh. Mereka bertahan hidup dengan mengandalkan bantuan kemanusiaan dari lembaga kemanusiaan internasional. Pada November 2017, Myanmar dan Bangladesh telah menyepakati proses repatriasi pengungsi dan pembentukan Joint Working Group. Namun pelaksanaan kesepakatan itu belum optimal. Cukup banyak pengungsi Rohingya di Bangladesh yang enggan kembali ke Rakhine.

Mereka mengaku masih trauma atas kejadian yang menimpanya pada Agustus tahun lalu. Selain itu, kesepakatan repatriasi pun tak menyinggung perihal jaminan keamanan dan keselamatan bagi warga Rohingya yang kembali.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement