Kamis 15 Nov 2018 12:29 WIB

ASEAN Dinilai tidak Tegas Terhadap Myanmar

ASEAN memiliki prinsip non intervention.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Dwi Murdaningsih
Pernyatan Sikap Komite Nasional untuk Solidaritas Rohingya (KNSR) usai dialog panel ungkap fakta pelanggaran HAM berat Pemerintah Myanmar atas etnis Rohingya di Wisma Antara, Jakarta, Rabu (14/11).
Foto: Republika/Fuji Eka Permana
Pernyatan Sikap Komite Nasional untuk Solidaritas Rohingya (KNSR) usai dialog panel ungkap fakta pelanggaran HAM berat Pemerintah Myanmar atas etnis Rohingya di Wisma Antara, Jakarta, Rabu (14/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komite Nasional untuk Solidaritas Rohingya (KNSR) berpandangan bahwa negara-negara di ASEAN tidak bisa bertindak tegas terhadap Pemerintah Myanmar. Padahal Tim Pencari Fakta (TPF) utusan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Rohingya telah memiliki bukti kejahatan kemanusiaan dan genosida yang dilakukan Myanmar terhadap etnis Rohingya.

"Memang tidak tegas karena ASEAN punya prinsip non intervention, nggak boleh intervensi urusan negara lain," kata Ketua Tim Kajian Hukum dan HAM dari KNSR, Heru Susetyo kepada Republika.co.id saat dialog panel ungkap fakta pelanggaran HAM berat Pemerintah Myanmar atas etnis Rohingya di Wisma Antara, Rabu (12/11).

Heru mengatakan, apa yang terjadi di Myanmar dianggap urusan domestik yang tidak perlu diintervensi negara lain karena Asean punya prinsip non intervention. Prinsip non intervention tersebut lahir pada tahun 1967.

PBB Enggan Bantu Myanmar Jika Tempatkan Rohingya di Kamp

Menurutnya, setiap negara punya dosa masing-masing, mungkin setiap negara saling menjaga rahasia dosanya untuk menutupinya. Sehingga terjadi sikap saling sandera di antara negara, hal ini berkaitan dengan prinsip non intervention terkait kasus kejahatan kemanusiaan di Myanmar.

Heru menyampaikan, PBB sudah tegas tapi ada yang menghalanginya yaitu Cina. Cina benar-benar menolak kebijakan yang merugikan Myanmar. Selain Cina, Filipina dan Burundi juga menolak resolusi PBB terkait Rohingya. "Cina punya kepentingan sosial, politik dan bisnis, banyak investasi Cina di Myanmar, akan sangat berdampak bagi ekonomi Cina kalau bisnisnya diganggu di Myanmar," ujarnya.

Jadi, dikatakan Heru, ada dua kelompok di PBB. Pertama, kelompok yang mendukung Resolusi PBB terkait Rohingya. Kedua, kelompok yang menolak resolusi PBB yakni Cina, Filipina dan Burundi.

"Mungkin Filipina punya kepentingan sosial, politik dan ekonomi juga di Myanmar. Kalau Burundi tidak tahu alasannya menolak resolusi PBB. Filipina sungguh mengecewakan karena sesama negara di Asean tidak mendukung terciptanya perdamaian," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement