Jumat 16 Nov 2018 10:19 WIB

Math: Ayah Saya Dibunuh Khmer Merah Saat Ingin Shalat

Pemimpin Khmer Merah hadapi vonis atas genosida 40 tahun lalu.

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Teguh Firmansyah
Polpot
Foto: YouTube
Polpot

REPUBLIKA.CO.ID, PHNOM PENH -- Berbicara setelah melaksanakan shalat di sebuah masjid di distrik Russei Keo Phnom Penh, Kop Math (64) menceritakan kebrutalan Khmer Merah kepada warga etnis Cham di Battambang. Ayah Math termasuk yang menjadi korban kekejaman Khmer Merah.

"Ayah saya menyelinap pergi untuk shalat, tetapi mereka melihat dia dan membawanya pergi untuk dibunuh," kata Math yang kehilangan 16 dari 20 anggota keluarganya, kemarin

Math mengunjungi persidangan yang kedua kali dalam kasus genosida Khmer Merah pada Kamis (15/6). Ia yakin pengadilan akan memberikan keadilan sejati kepada para korban.

Sa Rom Ly (62), seorang warga etnis Cham, juga hampir menjadi korban Khmer Merah. Ia berhasil selamat dari genosida di Kampong Cham dengan berpura-pura mengaku sebagai etnis Khmer. Ia yakin, Khmer Merah berusaha melenyapkan etnisnya.

"Khmer Merah ingin menyingkirkan Cham karena agama kami. Kami senang ECCC menggelar persidangan para pemimpin senior Khmer Merah karena persidangan itu dapat membantu menahan mereka untuk mempertanggungjawabkan tindakan mereka," kata dia.

Baca juga, Masjid Al-Azhar dan Kejamnya Khmer Merah.

"Mereka pantas dihukum karena merekalah yang memerintahkan para kepala daerah untuk mengeksekusi orang-orang. Jika tidak, mereka akan dibunuh juga," tambah Rom Ly.

Extraordinary Chambers in the Courts of Cambodia (ECCC), yang lebih dikenal sebagai Pengadilan Khmer Merah di Kamboja akan menjatuhkan vonis pada pemimpin Khmer Merah pada Jumat (16/11).

ECCC akan memutuskan apakah rezim "Brother Number Two" yaitu Nuon Chea (92 tahun) dan pemimpinnya, Khieu Samphan (87), melakukan genosida terhadap etnis Vietnam dan Muslim Cham.

Para hakim juga akan memutuskan apakah kedua orang itu bersalah atas kejahatan terhadap kemanusiaan yang terkait dengan pemenjaraan, kerja paksa, kawin paksa, dan kekerasan seksual.

Pengadilan menghukum kedua pria itu dengan hukuman penjara seumur hidup pada 2014 karena kejahatan terhadap kemanusiaan. Mereka berperan dalam proses evakuasi paksa di kota-kota setelah Khmer Merah mengambil alih kekuasaan.

Keputusan akan diambil pada Jumat (16/11) oleh pengadilan setelah pengadilan menghadapi kritik luas terkait penundaan panjang, campur tangan pemerintah, dan korupsi dalam kasus itu. Beberapa orang berpendapat, pengadilan telah membuang-buang waktu dan uang.

Vang Tam (65) mengatakan Khmer Merah telah bertanggung jawab atas kematian orang tuanya dan empat saudaranya pada 1970-an. "Bahkan jika saya mati, saya tetap akan memenggal kepala mereka. Saya akan melakukan apa pun. Leluhur kami dieksekusi di dekat gunung, saya satu-satunya yang tidak terbunuh," kata dia, di rumahnya di dekat Sungai Tonle Sap, Kamboja.

Tam adalah seorang nelayan etnis Vietnam yang lahir di Kamboja. Seperti ratusan ribu orang lainnya, ia dievakuasi ke Vietnam segera setelah Maois di bawah kepemimpinan Pol Pot menguasai Kamboja. Tetapi banyak dari keluarganya tetap tinggal. Ketika dia kembali ke rumahnya pada 1980, setelah Vietnam menggulingkan Khmer Merah, dia menemukan sekitar 40 anggota keluarganya telah meninggal.

Perdana Menteri Kamboja Hun Sen, mantan komandan Khmer Merah yang membantu menggulingkan Pol Pot setelah membelot ke Vietnam, telah sangat vokal menantang persidangan. Ia mengklaim hal itu bisa membawa Kamboja kembali ke perang sipil.

Dua hakim Kamboja dan hakim internasional di pengadilan harus menyetujui vonis. Hakim dan jaksa lokal telah dituduh berada di bawah pengaruh pemerintah, terutama dalam penyelidikan yang sedang berlangsung terhadap mantan pemimpin Khmer Merah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement