Rabu 19 Dec 2018 15:44 WIB

AS Kejar Perlucuran Senjata Nuklir Semenanjung Korea

AS khawatir Korsel terlalu cepat bekerja sama dengan Korut.

Rep: Lintar Satria/ Red: Nur Aini
Kapal feri Korea Utara (Korut) Mangyongbong 92 yang membawa 140 musisi orkestra mendekat di pelabuhan di Donghae, Korea Selatan (Korsel), Selasa (6/2).
Foto: REUTERS/Kim Hong-Ji
Kapal feri Korea Utara (Korut) Mangyongbong 92 yang membawa 140 musisi orkestra mendekat di pelabuhan di Donghae, Korea Selatan (Korsel), Selasa (6/2).

REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Utusan khusus Amerika Serikat (AS) untuk Korea Utara (Korut) Stephen Biegun datang ke Korea Selatan (Korsel). Ia akan berada di sana selama empat hari untuk mencari cara melanjutkan pembicaraan denuklirisasi atau perlucutan senjata nuklir Semenanjung Korea yang sempat terhenti. 

Biegun dijadwalkan akan bertemu dengan perwakilan Korsel untuk Korut Lee Do-hoon pada Kamis (19/12). Pada Jumat (20/12), Biegun akan bertemu kelompok kerja yang diluncurkan bulan lalu untuk mendorong koordinasi kebijakan AS dan Korsel dalam menangani Korut.
 
Biegun juga direncanakan bertemu dengan Menteri Unifikasi Korsel Cho Myoung-gyon untuk membicarakan isu antar-Korea. AS khawatir Korsel bergerak terlalu cepat menyambung kerja sama dengan Korut. Sementara Pyongyang saat ini tidak melakukan progres apa pun dalam perjanjian denuklirisasi. 
 
Korut dan Korsel berencana untuk mengadakan upacara bersama merayakan rencana proyek bersama mereka menyambung kembali rel kereta dan jalan antar kedua negara. Padahal, proyek tersebut baru bisa berjalan jika AS sudah mencabut sanksi Korut. 
 
Cho yakin pembicaraan denuklirisasi akan menghadapi momen kritisnya pada tahun depan. Menurutnya, pembicaraan denuklirisasi baru mengalami progres antara bulan Febuari dan Maret pada 2019 mendatang. 
 
"Saya pikir cukup adil untuk mengatakan proses denuklirisasi belum berada di jalur yang paling tepat, tahun depan kami akan lihat apakah mereka memiliki kesempatan untuk mendekati tujuan yang sudah disepakati," kata Cho, Rabu (19/12).
 
Media massa milik pemerintah Korut memuji Presiden AS Donald Trump atas 'kesediaannya' untuk melanjutkan dialog. Tapi juga mengkritik pemerintah AS yang menambah sanksi kepada Korut. 
 
Mereka menuduh Departemen Luar Negeri AS ingin mengembalikan lagi status hubungan Korut-AS seperti tahun lalu. Di mana kedua negara tersebut saling mengancam akan melancarkan perang. 
 
Sementara itu, Departemen Luar Negeri AS mengatakan komunikasi antara kedua belah pihak 'sedang berlangsung'. Tapi pencabutan sanksi baru akan dilakukan jika Korut sudah memenuhi semua persyaratan yang sudah ditetapkan sebelumnya. 
 
"Semakin cepat Korut melakukan denuklirisasi semakin cepat sanksi dicabut," kata deputi jurubicara Departemen Luar Negeri AS, Robert Palladino.  
 
Pemimpin Korut Kim Jong-un sudah berjanji bekerja sama dalam melakukan denuklirisasi dalam pertemuannya dengan Trump pada bulan Juni lalu di Singapura. Tapi, sejak saat ini kedua belah pihak tidak membuat kemajuan yang signifikan. 
 
Mereka belum mengadakan pembicaraan lanjutan setelah sebelumnya pertemuan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo dengan pejabat senior Korut Kim Yong Chol dibatalkan pada November lalu. Trump sempat mengatakan pertemuan selanjutnya akan digelar pada bulan Januari atau Febuari tapi melalui akun Twitternya Trump mengatakan ia tidak terburu-buru melakukan itu. 
 
Selama bertahun-tahun Korut mengembangkan program nuklir dan misil yang bertentangan dengan resolusi Dewan Keamanan PBB. Tapi retorika perang dari Korut dan Trump yang menaikan kekhawatiran mulai mereda pada tahun ini. 
 
Perundingan yang mandek juga berdampak pada hubungan antar dua negara Korea. Kim Jong un tidak jadi datang ke Seoul pada bulan ini. Padahal rencana tersebut sudah dibuat sejak bulan September ketika Presiden Korsel Moon Jae-in datang ke Pyongyang. Pada pekan lalu buru bicara Moon mengatakan Kim tidak bisa datang ke Korsel pada tahun ini.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement