Kamis 10 Jan 2019 17:36 WIB

Jaringan HAM Burma Desak Myanmar Hargai Hak Sipil Rakhine

Situasi di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, kembali memanas dalam dua bulan terakhir.

Rep: Fergi Nadira B/ Red: Nashih Nashrullah
Muslim Rohingya tiba di Desa Thae Chaung, Sittwe, negara bagian Rakhine, Myanmar, Rabu (21/11).
Foto: Nyunt Win/EPA EFE
Muslim Rohingya tiba di Desa Thae Chaung, Sittwe, negara bagian Rakhine, Myanmar, Rabu (21/11).

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON – Burma Human Rights Network (BHRN) atau Jaringan Hak Asasi Manusia (HAM) Burma mendesak tentara Burma harus menghormati HAM warga sipil Rakhine. 

Penggunaan hukuman kolektif dan penahanan sewenang-wenang oleh Militer Burma tidak hanya merupakan pelanggaran HAM tetapi juga meningkatkan kebencian di antara warga sipil dan pada akhirnya akan memperpanjang konflik. 

"Warga sipil selalu mereka yang paling menderita akibat perang dan konflik, dan sangat penting bahwa tentara Burma harusnya menghormati HAM bagi warga sipil Rakhine di daerah tempat mereka beroperasi," ujar Direktur Eksekutif BHRN Kyaw Win dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Kamis (10/1).

Situasi di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, kembali memanas dalam dua bulan terakhir. Sekitar 4.500 warga sipil di daerah tersebut dilaporkan telah mengungsi menyusul terjadinya pertempuran antara Arakan Army dan militer Myanmar.  

Pertempuran antara Arakan Army dan militer Myanmar telah terjadi sejak Desember tahun lalu. Arakan Army adalah salah satu kelompok milisi bersenjata di Rakhine yang menuntut otonomi lebih untuk etnis minoritas di daerah tersebut. 

Ketakutan muncul akan bantuan yang mungkin dicekal ke desa-desa Rakhine yang dicurigai membantu atau melindungi pejuang Tentara Arakan, seperti yang telah dilakukan sebelumnya.

Pada 27 Desember pasukan keamanan memasuki Desa Yae Gaung Chaung di Kota Rathedaung, Negara Bagian Rakhine, setelah beberapa hari pertempuran antara Tentara Arakan dan pasukan keamanan Burma.  

Warga sipil dipaksa masuk biara lokal dan diinterogasi. Pertempuran ini terjadi setelah Militer Burma secara sepihak mengumumkan gencatan senjata di negara itu, namun secara eksplisit mengecualikan konflik di Negara Bagian Rakhine. 

Pada 4 Januari, Hari Kemerdekaan Burma, Tentara Arakan menyerang lagi. Akibatnya 13 anggota pasukan keamanan Burma tewas. Sebagai tanggapan Burma telah berjanji untuk "menghancurkan" pemberontak dan meningkatkan upaya untuk menghilangkan dukungan lokal untuk mereka.

Sementara Komite Palang Merah Internasional mengatakan, dalam sebuah postingan facebook bahwa mereka dapat mengakses banyak situs penduduk desa yang melarikan diri dari tentara. 

Ada ketakutan di antara warga dan aktivis bahwa pertempuran berlanjut yang akan mengakibatkan pemblokiran bantuan ke wilayah tersebut dan pelanggaran HAM lebih lanjut terhadap warga sipil.

"BHRN menyerukan kepada Pemerintah Burma untuk memastikan bantuan tetap tersedia bagi warga sipil di zona konflik di Negara Bagian Rakhine dan bahwa ham dari mereka yang tinggal di daerah ini, dihormati," ujar Kyaw Win.

Dia mengtakan, Burma harus berupaya menuju gencatan senjata inklusif untuk semua wilayah negara yang akan membantu menghasilkan masa depan yang lebih damai dan adil bagi negara yang juga menghormati hak dan penentuan nasib sendiri daerah etnis. 

Dia menyarankan, komunitas internasional perlu meningkatkan upaya, terutama melalui sanksi pada kepentingan ekonomi Militer Burma, untuk membantu proses perdamaian di 'Thailand Burma' yang telah bermasalah sejak negara itu pertama kali merdeka. 

Sementara konflik ini adalah untuk kepentingan Militer Burma demi mempertahankan kekuatan politik mereka. "Sangat penting bagi masyarakat internasional untuk menggunakan penghalang seperti sanksi untuk secara jelas memberi sinyal bahwa konflik akan berdampak negatif terhadap kepentingan ekonomi mereka," ujarnya.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement