Jumat 11 Jan 2019 17:37 WIB

Ini Kaitan Antara Opium dengan Konflik Myanmar

Ada 37.300 hektar tanah yang ditanami opium pada tahun lalu.

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Teguh Firmansyah
Pohon Opium
Pohon Opium

REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYIDAW -- Jumlah lahan yang digunakan untuk menanam opium terus berkurang di Myanmar. United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) mengatakan dalam Survei Opium Myanmar 2018 pada Jumat (11/1), ada sekitar 37.300 hektar tanah di negara itu yang ditanami opium tahun lalu. Jumlah tersebut turun dari 41 ribu hektar pada 2017.

Hampir 90 persen dari semua opium itu ditanam di Negara Bagian Shan di timur laut, tempat pasukan pemerintah terus memerangi pemberontak etnis.

"Penurunan terbesar dalam budidaya opium telah terlihat di daerah yang memiliki keamanan yang relatif baik," kata UNODC. "Namun, di beberapa wilayah di Shan dan Kachin yang mengalami konflik berkepanjangan, penanaman opium terus berlanjut, sebuah korelasi yang jelas antara konflik dan produksi opium," tambah lembaga PBB itu.

Di Kachin, sebagian besar penanaman opium dilakukan di daerah yang dikontrol oleh Kachin Independence Army. Sementara lahan opium di Shan Utara berada di bawah pengawasan Myanmar National Democratic Alliance Army.

Di Shan Selatan ada Pa-O National Liberation Army, Restoration Council of Shan State, dan Shan State Army South. Di Shan Timur ada People Militia's Force. "Ada hubungan langsung antara narkoba dan konflik di negara itu, dengan ekonomi narkoba mendukung konflik dan pada gilirannya konflik memfasilitasi ekonomi narkoba. Memberikan solusi untuk konflik membutuhkan pemutusan siklus ini," ujar UNODC.

Pada pertengahan 1990-an, Segitiga Emas Myanmar, yang meliputi wilayah perbatasan Laos dan Thailand, telah menjadi pusat perdagangan opium dan heroin dunia. Sejak itu, pemerintah semakin gencar melakukan perlawanan, meski konflik memungkinkan perdagangan narkoba untuk terus berkembang.

Baca juga, Militer Myanmar Sebut tak Ada Rohingya yang Terbunuh.

Myanmar masih menjadi produsen opium terbesar kedua di dunia, setelah Afghanistan. Negara ini juga masih menjadi pemasok utama opium dan heroin di Asia Timur dan Asia Tenggara, serta Australia.

UNODC mengatakan, perang sipil tahun lalu juga menyulitkan pemerintah untuk mengakses daerah-daerah penghasil opium. Kerusuhan telah menghalangi upaya untuk menghancurkan ladang opium.

Sekitar 2.605 hektar lahan opium telah diberantas pada 2018, 26 persen lebih rendah dari tahun sebelumnya. Namun data UNODC menunjukkan jumlah lahan telah menurun sejak 2015.

Lembaga tersebut mencatat, masalah ekonomi termasuk kurangnya lapangan kerja dan ketimpangan pendapatan juga berkontribusi pada perdagangan narkoba yang masih berjamur. Upaya para pedagang orang dan penjahat terorganisir untuk mendiversifikasi pasar juga semakin berkembang.

UNODC menunjukkan, dari 11 negara yang mereka awasi, sembilan di antaranya mengatakan metamfetamin adalah obat-obatan terlarang terbesar yang menjadi perhatian mereka. Empat dekade lalu mereka hanya mengkhawatirkan heroin.

"Telah ada peningkatan tajam dalam pasokan, dan permintaan, obat-obatan sintetis dan khususnya metamfetamin di seluruh Asia Timur dan Tenggara dan wilayah tetangga," kata UNODC.

Laporan lembaga itu dirilis beberapa hari setelah International Crisis Group mengatakan konflik yang berkepanjangan di Negara Bagian Shan telah mengubah daerah itu menjadi pusat perdagangan global metamfetamin. Bisnis dikendlikan oleh kelompok-kelompok bersenjata setempat.

"Perdagangan, yang sekarang mengerdilkan kegiatan bisnis yang sah, telah menciptakan ekonomi politik yang bertentangan dengan perdamaian dan keamanan," kata International Crisis Group, dalam sebuah laporan, Senin (7/1) lalu.

"Ladang ini memberikan pendapatan untuk kelompok-kelompok bersenjata dari semua lini," ungkap kelompok itu.

International Crisis Group juga mengatakan, milisi dan kelompok bersenjata lainnya yang mengendalikan area produksi dan rute perdagangan utama, tidak memiliki insentif untuk melakukan demobilisasi.

Senjata, kontrol teritorial, dan ketiadaan lembaga negara sangat penting untuk mempertahankan pendapatan mereka dari penjualan obat-obatan. Jeremy Douglas, perwakilan regional untuk UNODC di Asia Tenggara dan Pasifik, mengatakan kepada Aljazirah, menyelesaikan masalah  membutuhkan kerja sama regional.

Pembuatan metamfetamin membutuhkan bahan kimia prekursor, yang sering kali diselundupkan ke negara itu dari Cina. Sementara obat-obatan itu sendiri membutuhkan jaringan perdagangan yang dapat diandalkan untuk menjangkau konsumen di luar perbatasan Myanmar. "Wilayah ini membutuhkan strategi bersama. Myanmar tidak akan bisa menyelesaikan situasi ini sendirian," ujar Douglas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement