Jumat 01 Mar 2019 17:21 WIB

Utusan PBB: Nyaris tak Ada Harapan untuk Pengungsi Rohingya

Pengungsi Rohingya digambarkan PBB sebagai orang paling teraniaya di dunia.

Suasana kamp pengungsi Rohingya Balukhali, Bangladesh.
Foto: Altaf Qadri/AP
Suasana kamp pengungsi Rohingya Balukhali, Bangladesh.

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Muslim Rohingya yang telah menyelamatkan diri ke Kabupaten Cox's Bazar di Bangladesh hidup dalam "kondisi yang sangat menantang". Mereka disebut hidup nyaris tanpa harapan, kata seorang utusan PBB pada Kamis (28/2).

Christine Schraner Burgener, wakil khusus sekretaris jenderal PBB untuk Myanmar, memberikan penjelasan kepada Dewan Keamanan PBB mengenai kunjungannya baru-baru ini ke Myanmar, Bangladesh, dan tujuan lain di wilayah tersebut. Menurut satu pernyataan yang dikeluarkan oleh PBB mengenai penjelasannya, Burgener mengatakan, 18 bulan telah berlalu sejak kerusuhan di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, memaksa ratusan ribu Muslim Rohingya dan orang lain meninggalkan rumah mereka, termasuk ke negara tetangga Myanmar, Bangladesh.

Baca Juga

"Meski Bangladesh dan masyarakat penerima sangat baik hati, kami tak bisa mengharapkan ini akan berlangsung selamanya," kata wanita pejabat itu sebagaimana dikutip kantor berita Turki, Anadolu--yang dipantau Antara di Jakarta, Jumat (1/3) sore.

Ia mengatakan, Rencana Tanggap Bersama PBB bagi 2019 yang diluncurkan belum lama ini memerlukan dana "mendesak". Program itu bertujuan mendukung para pengungsi dan masyarakat penampung.

Burgener mengatakan, sejumlah langkah prioritas juga perlu dilakukan, termasuk diakhirinya kerusuhan di Myanmar, difasilitasinya akses tanpa hambatan ke orang yang terpengaruh, ditanganinya sumber ketegangan, dan dimungkinkannya pembangunan yang melibatkan banyak kalangan dan berkesinambungan. Burgener menyatakan, ketegangan sipil dan militer berlangsung terus di Myanmar sebelum pemilihan umum pada 2020.

Ia menyampaikan keprihatinan bahwa perang sengit dengan Tentara Arakan akan makin memengaruhi upaya ke arah pemulangan sukarela dan bermartabat para pengungsi. Burgener juga menyeru kedua pihak agar menjamin perlindungan warga sipil dan melaksanakan kewajiban mereka berdasarkan hukum internasional.

Rohingya, yang digambarkan oleh PBB sebagai orang yang paling teraniaya di dunia, telah menghadapi kekhawatiran yang bertambah besar mengenai serangan sejak puluhan orang tewas dalam bentrokan antar-masyarakat pada 2012. Menurut Amnesty International, lebih dari 750 ribu pengungsi Rohingya, kebanyakan perempuan dan anak-anak, telah meninggalkan Myanmar dan menyeberang ke Bangladesh setelah pasukan Myanmar melancarkan penindasan terhadap masyarakat minoritas Muslim pada Agustus 2017.

photo
Warga muslim rohingya menunggu penyaluran bantuan berupa paket makanan di Kamp Pengungsi Rohingya di Propinsi Sittwe, Myanmar.

Sejak 25 Agustus 2017, hampir 24 ribu Muslim Rohingya telah tewas oleh pasukan Pemerintah Myanmar, demikian satu laporan yang dikeluarkan oleh Lembaga Pembangunan Internasional Ontario (OIDA). Lebih dari 34 ribu orang Rohingya juga dilemparkan ke dalam kobaran api, sementara lebih dari 114 ribu orang lagi dipukuli, kata laporan OIDA, yang berjudul "Forced Migration of Rohingya: The Untold Experience".

Sebanyak 18 ribu anak perempuan dan perempuan Rohingya diperkosa oleh polisi dan tentara Myanmar dan lebih dari 115 ribu rumah orang Rohingya dibakar dan 113 ribu lagi dirusak, tambah laporan itu. PBB telah mendokumentasikan pemerkosaan massal, pembunuhan--termasuk terhadap bayi dan anak kecil--pemukulan secara brutal, dan penghilangan yang dilakukan oleh pasukan Myanmar.

Di dalam satu laporan, para penyelidik PBB mengatakan, pelanggaran semacam itu mungkin telah menjadi kejahatan terhadap umat manusia.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement