Jumat 08 Mar 2019 20:09 WIB

PBB Peringatkan India atas Kekerasan Terhadap Muslim

kasus pelecehan dan kekerasan terhadap minoritas termasuk Muslim di India naik.

Rep: Rossi Handayani/ Red: Nur Aini
Muslimah India berdoa pada hari kelahiran Nabi Muhammad (Mauilid Nabi) di Kashmir India, Kamis (21/11).
Foto: EPA-EFE/Farooq Khan
Muslimah India berdoa pada hari kelahiran Nabi Muhammad (Mauilid Nabi) di Kashmir India, Kamis (21/11).

REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- Kepala Hak Asasi Manusia (HAM) PBB, Michelle Bachelet telah memperingatkan India, terkait kebijakannya yang memecah-belah dapat merusak pertumbuhan ekonomi. Ia menyampaikan, agenda politik yang sempit membatasi ruang orang-orang rentan dalam masyarakat yang sudah tidak setara, termasuk Muslim.

"Kami menerima laporan yang mengindikasikan meningkatnya pelecehan dan penargetan minoritas, khususnya Muslim dan orang-orang dari kelompok yang secara historis kurang beruntung dan terpinggirkan, seperti Dalit dan Adivasis," kata Michelle Bachelet dalam laporan tahunannya kepada Dewan HAM PBB di Jenewa, dilansir dari laman Aljazeera, Jumat (8/3).

Baca Juga

Peringatan Bachelet datang, sehari setelah cabang Amnesty International di India menyatakan telah mencatat sejumlah kejahatan dari kebencian yang ada. Hal itu termasuk penyerangan, pemerkosaan dan pembunuhan, terhadap kelompok-kelompok yang terpinggirkan pada 2018.

Mengandalkan kasus-kasus yang dilaporkan dalam media utama Inggris dan India, kelompok itu pada Selasa menyatakan telah mendokumentasikan total 218 insiden dugaan kejahatan rasial tahun lalu. Sebanyak 142 dari mereka menentang Dalit kasta rendah, sementara 50 dari mereka menentang Muslim.

Direktur eksekutif Amnesty India, Aakar Patel mengungkapkan, budaya impunitas digunakan untuk kejahatan rasial di India. Hukum negara, dengan beberapa pengecualian, tidak mengakui kejahatan rasial sebagai pelanggaran khusus.

Ia mendesak para pemimpin politik untuk lebih bersuara dalam mengecam kekerasan tersebut. Selain itu, kepolisian diminta untuk mengambil langkah-langkah untuk mengungkap segala motif yang berpotensi diskriminatif dalam kejahatan.

"Reformasi hukum yang memungkinkan pencatatan kejahatan rasial, dan memperkuat akuntabilitas harus menjadi prioritas bagi setiap pemerintah yang berkuasa setelah pemilihan umum mendatang," ujar Patel.

Sementara itu, seorang aktivis yang bermarkas di New Delhi, Kavita Krishnan mengatakan, Kepala HAM PBB harus peduli tentang hal itu terlepas dari apakah itu mempengaruhi pertumbuhan ekonomi atau tidak. "Segala sesuatu tidak dapat diukur dalam hal pertumbuhan ekonomi. Status moral India terhambat oleh serangan terorganisir terhadap minoritas yang dibenarkan atas nama melindungi sapi atau atas nama melindungi perempuan Hindu," ungkap Krishnan.

Laporan itu datang beberapa pekan menjelang pemilihan umum yang akan diadakan pada April dan Mei. Perdana Menteri India, Narendra Modi yang juga pemimpin Partai Bharatiya Janata (BJP), dituduh tidak melakukan tindakan yang cukup untuk mengatasi meningkatnya serangan terhadap kaum minoritas.

Pada Desember, Factchecker.in, sebuah wadah jurnalisme data menyatakan, pada 2018 menunjukkan kejahatan dimotivasi oleh bias agama di India dalam satu dekade. Kelompok itu mengatakan 30 orang tewas dalam 93 serangan semacam itu tahun lalu. Jumlahnya mencapai kematian tertinggi dari awal mula kejahatan rasial pada 2009.

Negara bagian terpadat di negara itu, Uttar Pradesh, menduduki puncak daftar dengan 27 kasus. Bihar, dengan 10 kasus, berada di urutan kedua. Angka-angka oleh Factchecher.in menunjukkan lonjakan dugaan kejahatan kebencian setelah Modi mengambil alih kekuasaan pada 2014.

Pemerintah negara bagian yang diperintah oleh BJP, telah menindak pembantaian sapi, binatang yang oleh banyak umat Hindu dianggap keramat. Beberapa kelompok bertindak main hakim sendiri memukuli dan bahkan membunuh orang-orang Muslim, serta Dalit yang kurang mampu atas tuduhan membunuh sapi dan makan daging sapi.

Modi telah berulang kali mengatakan, pemerintah negara bagian harus menghukum warga sipil yang melakukan kekerasan atas nama perlindungan sapi. Akan tetapi para pengkritiknya menyatakan pemerintah tidak berbuat cukup banyak untuk menuntut orang-orang yang dituduh melakukan pembunuhan.

Lebih dari 80 persen dari mereka yang tewas dalam kekerasan terkait sapi sejak 2010 adalah Muslim, menurut Indiaspendwebsite. Pada 2015, Mohammad Akhlaq, warga berusia 52 tahun dari desa Bisara di Uttar Pradesh digantung karena desas-desus tentang pembantaian sapi dan konsumsi daging sapi.

Presiden Muslim India Majlis-e-Mashawrat, federasi dari berbagai organisasi Muslim di India, menyatakan kebijakan memecah belah Modi telah menghancurkan citra negara di tingkat internasional. Juru bicara nasionalis Hindu yang berkuasa di India, BJP, Shahnawaz Hussain, menolak komentar Bachelet sebagai seruan yang tidak berdasar.

"Saya menolak laporan kepala hak asasi manusia PBB. Ini adalah tuduhan tak berdasar untuk menodai citra India. India adalah negara terbaik bagi umat Islam di dunia, dan umat Hindu adalah sahabat mereka," kata Hussain.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement