Kamis 14 Mar 2019 19:00 WIB

AS: Penindasan Cina terhadap Muslim di Xinjiang Meluas

AS mendesak Cina mengubah kebijakannya di Xinjiang.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Para peserta didik kamp pendidikan vokasi etnis Uighur di Kota Kashgar, Daerah Otonomi Xinjiang, Cina, belajar menjahit pakaian, Jumat (3/1/2019).
Foto: ANTARA FOTO/M. Irfan Ilmie
Para peserta didik kamp pendidikan vokasi etnis Uighur di Kota Kashgar, Daerah Otonomi Xinjiang, Cina, belajar menjahit pakaian, Jumat (3/1/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Wakil Amerika Serikat (AS) untuk Dewan Ekonomi dan Sosial PBB Kelley Eckels Currie mengatakan Pemerintah Cina masih melakukan tindakan represif terharap etnis minoritas di Provinsi Xinjiang. AS sedang mempertimbangkan langkah-langkah membidik para pejabat Xinjiang yang bertanggung jawab atas perbuatan tersebut.

"Apa yang baru adalah luasnya penindasan (di Xinjiang) dan bagaimana Pemerintah Cina menggunakan terobosan dalam teknologi untuk meningkatkan efektivitasnya," ujar Currie dalam pertemuan Dewan HAM PBB yang digelar di Jenewa, Swiss, pada Rabu (13/3), dikutip laman New York Times.

Baca Juga

Dia mendesak Cina untuk mengubah kebijakannya di Xinjiang dan mengizinkan para ahli PBB mengunjungi wilayah tersebut. Hal itu dilakukan guna menyingkap kondisi sesungguhnya di Xinjiang.

Pertemuan yang digelar di Jenewa memang diinisiasi AS. Tujuannya adalah menarik perhatian global atas langkah-langkah ekstrem yang diambil Cina di Xinjiang, terutama terkait dugaan penahanan lebih dari 1 juta Muslim Uighur.

Pertemuan itu juga menyoroti adanya peningkatan upaya oleh Cina dalam melawan kritik internasional perihal isu Xinjiang. Cina dijadwalkan tampil di Dewan HAM PBB untuk putaran akhir tinjauan formal atas kinerja HAM-nya.

Adrien Zenz, seorang pakar Xinjiang dari Jerman yang turut hadir dalam pertemuan di Jenewa mengatakan, pusat-pusat penahanan telah berkembang pesat di Xinjiang dalam dua tahun terakhir. Dia menduga pusat penahanan tersebut menampung sekitar 1,5 juta Muslim Uighur dan minoritas Muslim lainnya. "Taktik Cina tidak kurang dari kampanye genosida budaya yang sistematis," ucapnya.

Keberadaan kamp penahanan dikonfirmasi oleh Omir Bekali (43 tahun), seorang Kazakh Uighur yang tinggal di Xinjiang. Dalam pertemuan di Jenewa Bekali menuturkan bahwa dia pernah ditangkap polisi Xinjiang pada 2017.

Setelah ditangkap, dia kemudian disiksa dan ditahan di sebuah ruangan kecil bersama 40 orang lainnya selama enam bulan. Selama ditahan, dia dan para tahanan lainnya harus menyanyikan lagu-lagu yang mengagungkan Presiden Cina Xi Jinping.

Selain itu, para tahanan pun dituntut untuk meyanjung dan memuji Partai Komunis Cina. "Kami tidak punya hak untuk bicara," ujar Bekali.

Seorang diplomat Cina yang mendengar kesaksian Bekali segera membantahnya. Dia menuding apa yang dikisahkan Bekali merupakan kebohongan. "Pusat-pusat ini tidak lain adalah sekolah asrama biasa," katanya menyangkal cerita Bekali.

Pemerintah Cina telah berulang kali membantah melakukan penahanan terhadap lebih dari 1 juta Muslim Uighur. Beijing pun menyangkal membangun kamp-kamp penahanan.

Menurutnya, apa yang dibangun di Xinjiang adalah pusat reedukasi dan pelatihan vokasi. Cina mengklaim kehadiran pusat tersebut penting untuk menghapus kemiskinan di Xinjiang.

Mereka pun mengklaim bahwa para peserta telah menandatangani perjanjian untuk menerima pelatihan vokasi tersebut. Namun banyak pihak meragukan klaim Cina. Hal itu terutama disebabkan keengganan Cina memberi kemudahan akses bagi dunia internasional untuk berkunjung ke Xinjiang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement