Senin 18 Mar 2019 14:58 WIB

Penembak Masjid Christchurch Beli Senjata Lewat Online

Pelaku penembakan masjid membeli empat senjata dan amunisi dari akhir 2017.

Rep: Rossi Handayani/ Red: Nur Aini
Teror Masjid Christchurch. Wanita meletakkan bunga di Christchurch, Sabtu (16/3), sebagai bentuk duka dan simpati bagi aksi teror di dua masjid pada Jumat (15/3).
Foto: AP
Teror Masjid Christchurch. Wanita meletakkan bunga di Christchurch, Sabtu (16/3), sebagai bentuk duka dan simpati bagi aksi teror di dua masjid pada Jumat (15/3).

REPUBLIKA.CO.ID, CHRISTCHURCH -- Pelaku penembakan dua masjid di Christchurch, Selandia Baru, Brenton Tarrant diketahui membeli senjata api dan amunisi secara daring (online) di sebuah toko. Warga negara Australia itu telah didakwa melakukan pembunuhan atas serangannya pada Jumat pekan lalu.

Akan tetapi, pemilik toko mengaku ia tidak menjual senjata dengan kekuatan tinggi seperti digunakan Tarrant dalam penembakan masjid. Pemilik Gun City, David Tipple mengatakan, Tarrant membeli empat senjata dan amunisi pada Desember 2017 dan Maret 2018.

Baca Juga

"MSSA otomatis bergaya militer, yang dilaporkan digunakan oleh pria bersenjata itu, tidak dibeli dari Gun City. Gun City tidak menjual MSSA, hanya senjata api kategori-A," ucap Tipple.

Di bawah undang-undang senjata Selandia Baru dalam kategori-A, warga dapat membeli senjata semi-otomatis. Akan tetapi, pembelian terbatas pada tujuh tembakan saja. Video dari penembakan di satu masjid menunjukkan penggunaan senjata semi-otomatis dengan putaran tempat peluru yang besar.

Tipple mengungkapkan, pembelian online itu mengikuti tahapan pemesanan yang diverifikasi polisi. Senjata api kategori-A tersebut dibeli dalam tiga atau empat pembelian.

"Kami mendeteksi tidak ada yang luar biasa tentang pemegang lisensi. Dia adalah pembeli baru, dengan lisensi baru," kata Tipple.

Berawal dari serangan mengejutkan itu, membuat pemerintah Selandia Baru mengeluarkan aturan hukum yang ketat. Pemerintah mencoba membatasi akses ke beberapa senjata api, terutama senjata semi-otomatis.

Tipple mengungkapkan, ia mendukung seruan Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern untuk reformasi hukum senjata. Sebab, penembakan di Christchurch telah menimbulkan kekhawatiran bagi banyak orang.

Selandia Baru, negara berpenduduk hanya lima juta orang, diperkirakan memiliki 1,5 juta senjata api. Usia minimum untuk lisensi senjata yakni 16 dan 18 tahun untuk memiliki senjata semi-otomatis.

Laporan Radio New Zealand, menyatakan lebih dari 99 persen orang yang mengajukan izin senjata api pada 2017 telah berhasil memilikinya. Angka tersebut berdasarkan data polisi melalui permintaan Undang-Undang Informasi Resmi.

Lisensi senjata api kategori-A Selandia Baru dikeluarkan setelah melalui pemeriksaan polisi. Selain itu, juga berdasakan latar belakang orang yang akan mendapatkan lisensi.

Tidak diperlukan lisensi untuk membeli tempat peluru bundar besar dalam senjata. Itu merupakan senjata yang dapat dimodifikasi secara ilegal. Hanya pemilik senjata api yang dilisensikan dan bukan senjatanya, sehingga tidak ada pemantauan berapa banyak senjata yang dimiliki oleh seseorang.

Pasar online teratas Selandia Baru, Trade Me Group menyatakan telah menghentikan penjualan senjata semi-otomatis. Kebijakan ini juga diambil setelah serangan penembakan pada Jumat (15/3) lalu.

Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern mengatakan, ia akan mengumumkan undang-undang senjata baru dalam beberapa hari, Senin (18/3). Langkah ini dilakukan setelah 50 orang tewas dalam penembakan massal di dua masjid, Christchurch.

"Dalam waktu 10 hari dari tindakan terorisme yang mengerikan ini, kami akan mengumumkan reformasi yang saya percaya, akan membuat komunitas kami lebih aman," kata Ardern.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement