Rabu 10 Apr 2019 21:00 WIB

Teror Christchurch Belum Genap Sebulan, UU Senjata Selandia Baru Diubah

Red:
abc news
Foto: abc news
abc news

Hampir semua, kecuali satu, anggota Parlemen Selandia Baru memilih untuk mengubah Undang-Undang Senjata mereka pada hari Rabu (10/4/2019), kurang dari sebulan setelah aksi teror terjadi di dua masjid Christchurch yang menewaskan 50 orang.

Poin utama:

• Satu anggota Parlemen Selandia Baru keberatan dengan cepatnya RUU itu mengubah undang-undang senjata, yang melarang senjata semi-otomatis
• Ada skema pembelian kembali, dan lebih dari 300 senjata telah diserahkan
• Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern, mengatakan Parlemen adalah suara dari 50 orang yang tewas dalam penembakan di masjid

RUU reformasi senjata, yang disahkan dengan hasil suara 119-1 setelah pembacaan terakhir di Parlemen, kini harus menerima persetujuan Kerajaan dari Gubernur Jenderal sebelum diharapkan menjadi hukum pada hari Jumat (12/4/2019).

Warga Australia, Brenton Tarrant (28), seorang tersangka supremasi kulit putih, didakwa dengan 50 tuduhan pembunuhan setelah serangan terhadap dua masjid pada 15 Maret.

UU baru itu membatasi sirkulasi dan penggunaan sebagian besar senjata api semi-otomatis, bagian yang mengubah senjata api menjadi senjata api semi-otomatis, peluru dengan kapasitas tertentu, dan beberapa senapan.

Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern, berbicara secara emosional selama pembacaan akhir RUU itu tentang cedera traumatis yang diderita oleh korban serangan teror Christchurch.

"Saya kesulitan mengingat setiap luka tembak," kata Ardern.

"Dalam setiap kasus mereka berbicara tentang banyak cedera, banyak cedera melemahkan yang dianggap tidak mungkin bagi mereka untuk pulih dalam beberapa hari, apalagi berminggu-minggu."

"Mereka akan membawa disabilitas itu seumur hidup, dan itu sebelum Anda mempertimbangkan dampak psikologisnya. Kami di sini untuk mereka."

"Saya tak bisa membayangkan bagaimana senjata yang bisa menyebabkan kehancuran seperti itu dan kematian berskala besar bisa diperoleh secara legal di negara ini."

Satu suara menolak

PM Ardern, yang telah mendapat pujian internasional atas belas kasih dan kepemimpinannya sejak penembakan itu, mampu memenangi dukungan bi-partisan yang langka untuk rancangan undang-undang yang melarang kepemilikan senapan semi-otomatis gaya militer.

Undang-undang tersebut mencakup skema pembelian kembali di mana pemilik senjata terlarang bisa menyerahkannya kepada polisi pada tanggal 30 September dengan imbalan kompensasi berdasarkan usia dan kondisi senjata.

Lebih dari 300 senjata telah diserahkan.

Siapapun yang memiliki senjata terlarang setelah undang-undang secara resmi disahkan pada hari Jumat (12/4/2019) akan menghadapi hukuman hingga lima tahun penjara.

Beberapa pengecualian telah diizinkan untuk senjata pusaka yang dipegang oleh kolektor atau untuk pengendalian hama profesional.

Satu-satunya suara yang berbeda pendapat adalah dari satu-satunya anggota parlemen Partai ACT libertarian, David Seymour.

Ia mempertanyakan mengapa tindakan itu dilakukan dengan terburu-buru.

"Jika Anda membuat undang-undang dengan terburu-buru, lebih baik ada alasan kuat, kalau tidak orang berhak menyampaikan pandangannya," katanya kepada wartawan.

Tapi minggu lalu ketika ia berbicara kepada pers tentang keberatannya terhadap betapa RUU itu cepat dibahas, ia merindukan berada di Parlemen untuk memilih memperlambat proses itu.

PM Ardern mengatakan bahwa ada beberapa oposisi dari pemilik senjata api, tetapi tanggapan terhadap undang-undang yang diusulkan itu sangat positif.

"Argumen tentang proses adalah argumen untuk tidak melakukan apa-apa," katanya.

PM Ardern mengatakan ada beberapa kesempatan di mana ia telah melihat Parlemen bersatu dengan cara ini, dan mengatakan dalam keadaan itu perlu.

"Kami akhirnya berada di sini karena 50 orang tewas dan mereka tidak memiliki suara," tambahnya.

"Kami, di Parlemen ini, adalah suara mereka dan hari ini kami telah menggunakan suara itu dengan bijak."

Ikuti berita-berita lain di situs ABC Indonesia.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement