Kamis 09 May 2019 16:30 WIB

Cina Yakin Ekonomi Jadi Solusi Selesaikan Krisis Rohingya

Cina tawarkan forum kerja sama regional untuk mengatasi krisis Rohingya.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Muslim Rohingya tiba di Desa Thae Chaung, Sittwe, negara bagian Rakhine, Myanmar, Rabu (21/11).
Foto: Nyunt Win/EPA EFE
Muslim Rohingya tiba di Desa Thae Chaung, Sittwe, negara bagian Rakhine, Myanmar, Rabu (21/11).

REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Pemerintah Cina meyakini masalah pengungsi Rohingya dapat ditangani dan diselesaikan. Menurut Beijing, pengembangan regional dan konektivitas menjadi solusi masalah tersebut.

“Kami berharap bahwa dalam proses penerapan Koridor Ekonomi BCIM (Bangladesh-Cina-India-Myanmar), kami dapat menemukan solusi yang sangat baik untuk masalah Rohingya,” ujar Duta Besar Cina untuk Bangladesh Zhang Zuo kepada kantor berita Bangladesh Sangbad Sangstha pada Rabu (8/5), dikutip laman Anadolu Agency.

Baca Juga

Koridor Ekonomi BCIM adalah forum kerja sama regional yang didirikan pada 1999. Koridor yang diusulkan seluas 1,65 juta kilometer persegi, mencakup sekitar 440 juta orang di Provinsi Yunnan, Cina, Bangladesh, Myanmar, dan Benggala Barat di India Timur. Mereka terkoneksii melalui kombinasi jalan, hubungan air, dan udara.

Zhang mengatakan repatriasi adalah salah satu bagian dari solusi keseluruhan untuk masalah Rohingya. “Kami yakin bahwa solusi nyata untuk masalah terletak pada pengembangan,” ujarnya.

Komisaris PBB untuk Pengungsi Filippo Grandi menyerukan komunitas internasional untuk terus mendukung kebutuhan kritis para pengungsi Rohingya. 

Grandi mencatat, hampir separuh dari 540 ribu anak-anak pengungsi berusia di bawah 12 tahun. Saat ini, mereka sama sekali tidak memperoleh pendidikan. Sedangkan, sisanya hanya memiliki akses ke sekolah yang terbatas. 

Hanya segelintir anak remaja yang dapat mengakses segala bentuk pendidikan atau pelatihan. "Ini tetap menjadi salah satu krisis pengungsi terbesar di dunia," kata Grandi.

Grandi mengaku melihat banyak kemajuan. Namun, situasi para pengungsi, terutama perempuan dan anak-anak, masih rapuh. "Dengan krisis saat ini hampir dua tahun, kita harus memberi para pengungsi kesempatan untuk belajar, membangun keterampilan, dan berkontribusi pada komunitas mereka sambil juga mempersiapkan reintegrasi ketika mereka dapat kembali ke Myanmar," ujarnya.

Pada November 2017, Bangladesh dan Myanmar menyepakati pelaksanaan repatriasi. Tahun lalu, kedua negara memulai proses pemulangan sekitar 2.200 pengungsi. Namun, proses tersebut dikritik oleh sejumlah negara, termasuk PBB. 

PBB menilai sebelum benar-benar dipulangkan, para pengungsi seharusnya diberi izin untuk melihat situasi serta kondisi di Rakhine. Dengan demikian, mereka dapat menilai dan menyimpulkan sendiri apakah dapat pulang dengan aman ke sana. Di sisi lain, PBB masih menyangsikan bahwa hak-hak dasar Rohingya, terutama status kewarganegaraan, dapat dipenuhi oleh Myanmar. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement