Selasa 28 May 2019 12:32 WIB

Aktivis HAM Protes Pembebasan Tentara Pembunuh Rohingya

Tujuh tentara Myanmar pembunuh Rohingya dibebaskan lebih awal.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Nur Aini
Sejumlah warga Rohingya menunggu di truk Polisi Myanmar untuk dibawa kembali menuju penampungan sementara yang didirika pemerintah di Desa ManSi dekat Sittwe, Negara Bagian Rakhinne, Myanmar, Rabu (21/11).
Foto: Nyunt Win/EPA EFE
Sejumlah warga Rohingya menunggu di truk Polisi Myanmar untuk dibawa kembali menuju penampungan sementara yang didirika pemerintah di Desa ManSi dekat Sittwe, Negara Bagian Rakhinne, Myanmar, Rabu (21/11).

REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Aktivis Hak Asasi Manusia di seluruh dunia prihatin atas pembebasan tujuh tentara Myanmar yang membunuh 10 warga Muslim Rohingya dalam penumpasan militer 2017 di negara bagian Rakhine barat. Padahal, pembunuhan berdarah dingin itu telah diungkap melalui berita investigasi Reuters.

"Satu-satunya alasan tujuh tentara ini ditangkap adalah karena wartawan Reuters Wa Lone dan Kyaw Soe Oo mengungkap pembunuhan berdarah dingin ini dalam sebuah berita-berita investigasi yang tidak dapat disangkal," kata Phil Robertson, wakil direktur Asia untuk Human Rights Watch, dikutip dari Anadolu Agency, Selasa (28/5).

Baca Juga

Reuters, dalam sebuah cerita eksklusif yang diterbitkan pada Senin kemarin mengatakan bahwa Myanmar telah memberikan pembebasan awal kepada tentara yang dipenjara. Laporan itu menambahkan bahwa para prajurit dibebaskan pada November 2018, yang berarti mereka menjalani hukuman kurang dari setahun dari 10 tahun hukuman penjara.

Tahun lalu, Reuters menerbitkan foto-foto pria Rohingya yang diikat bersama menyaksikan tetangga mereka yang beragama Budha menggali kuburan untuk mereka. Setelah menerbitkan laporan ini, Wa Lone dan Kyaw Soe Oowere ditangkap oleh polisi Myanmar atas tuduhan memperoleh rahasia negara, lalu ditahan selama lebih dari 16 bulan. 

Phil mengatakan, lebih dari segalanya, pembebasan awal dari ketujuh tentara tersebut mengungkapkan bahwa Jenderal Panglima Min Aung Hlaing (kepala pasukan Myanmar) dan Tatmadaw (tentara Myanmar) tidak benar-benar menganggap Rohingya sebagai manusia.

"(Mereka juga) dan tidak pernah berkomitmen untuk melihat siapa pun bertanggung jawab atas kejahatan mereka di negara bagian Rakhine," ujarnya.

Pemimpin Koalisi Rohingya Merdeka (FRC), sebuah jaringan global aktivis Rohingya, Maung Zarni, menuding pemerintah Myanmar Aung San Suu Kyi telah melayani impunitas total bagi para pembunuh. "Bagaimana Komisi Penyelidikan Internasionalnya bisa jujur, kredibel, atau dapat dipercaya?"

Yanghee Lee, pelapor khusus PBB tentang situasi HAM di Myanmar, mempertanyakan pembebasan prajurit secara diam-diam itu. "Jika benar, mengapa prajurit dibebaskan diam-diam tanpa ada yang tahu? Wa Lone dan Kyaw Soe Oo menjalani hukuman 511 hari yang salah di penjara sedangkan pelaku pembunuhan yang sebenarnya pergi," katanya.

Aktivis Rohingya yang menjadi pemimpin Organisasi Rohingya Burma, Tun Khin, menyebut itu sebagai praktik penghinaan. "Beberapa tentara Burma yang membantai ratusan Rohingya bebas, waktunya lebih sedikit dari wartawan yang mengungkap kejahatan mereka. Namun ini bukti impunitas total militer," kata korban genosida ini.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement