Selasa 11 Jun 2019 17:00 WIB

Perdana Menteri Jepang akan Temui Pemimpin Iran

Kunjungan PM Jepang diduga untuk mengirimkan pesan presiden AS ke Iran.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nur Aini
Presiden AS Donald Trump berjabat tangan dengan perdana menteri Jepang Shinzo Abe di Gedung Putih, Washington, AS, Jumat (26/4) waktu setempat.
Foto: AP Photo/Susan Walsh
Presiden AS Donald Trump berjabat tangan dengan perdana menteri Jepang Shinzo Abe di Gedung Putih, Washington, AS, Jumat (26/4) waktu setempat.

REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe akan berkunjung ke Iran pada 12-14 Juni 2019 untuk melakukan pembicaraan dengan Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei dan Presiden Iran, Hassan Rouhani. Kunjungan Abe dilakukan setelah ketegangan antara Iran dan Amerika Serikat (AS) meningkat dalam beberapa pekan terakhir. 

Kepala Sekretaris Kabinet Yoshihide Suga mengatakan dalam konferensi pers, Abe dan Presiden AS Donald Trump telah berbicara melalui telepon pada Selasa (11/6) untuk membahas berbagai topik, salah satunya yakni mengenai Iran. Abe akan menjadi perdana menteri Jepang pertama yang mengunjungi Iran dalam 41 tahun. 

Baca Juga

Banyak pihak yang berspekulasi bahwa kunjungan Abe untuk mengirimkan pesan dari Trump kepada Teheran, dan meredakan krisis atas kesepakatan nuklir. Namun, pejabat tinggi Kementerian Luar Negeri Jepang membantah bahwa kunjungan Abe ke Iran bukan sebagai mediator. 

"Tujuan utamanya adalah untuk meredakan ketegangan dan mencegah status quo yang semakin memburuk. Kami tidak punya rencana lain," ujar pejabat tinggi Kementerian Luar Negeri Jepang yang enggan disebutkan namanya tersebut, dilansir Japan Times.

"Perdana menteri tidak akan pergi ke sana sebagai mediator atau pembawa pesan. Jepang tidak mendukung salah satu dari kedua belah pihak," kata pejabat itu melanjutkan. 

Pengamat Timur Tengah yang berbasis di Jepang telah menyatakan, Abe akan kembali dari kunjungan ke Iran dengan tangan kosong. Tokyo tidak memiliki pengaruh diplomatik cukup besar untuk mendorong Washington kembali kepada kesepakatan nuklir dan meringankan sanksi terhadap Iran. 

"Jika Iran meningkatkan ketegangan, itu akan berarti bagi Abe untuk pergi dan meminta Teheran untuk mengubah posisinya. Tetapi AS yang mulai meningkatkan ketegangan dengan menarik diri dari kesepakatan nuklir 2015," ujar profesor hubungan internasional di Tokyo University of Foreign Studies dan pakar Timur Tengah, Yasuyuki Matsunaga. 

"Tidak ada yang bisa ditawarkan Abe (untuk meringankan masalah ekonomi bagi Iran). Jadi saya bertanya-tanya apa hasil yang bisa dia dapatkan selama kunjungannya ke Teheran," kata Matsunaga menambahkan. 

Matsunaga mengatakan, Teheran menyambut kunjungan Abe karena akan menekankan fakta bahwa Jepang mengakui Iran sebagai negara yang sangat penting. Tetapi, Abe tidak dapat menawarkan apapun untuk menyelesaikan masalah mendasar yang dihadapi Iran. 

Pada 2015 AS, Inggris, Prancis, Jerman, Rusia, dan Cina menandatangani Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) di mana Iran secara drastis mengurangi jumlah uraniumnya dan telah menerima inspeksi oleh Badan Energi Atom Internasional (IAEA). Untuk melawan kecurigaan AS, Teheran berusaha mengembangkan senjata nuklir. Sebagai imbalannya, negara-negara tersebut telah mengurangi sanksi ekonomi utama terhadap Iran, dan IAEA telah mengkonfirmasi Teheran terus mematuhi kewajibannya berdasarkan perjanjian 2015.

Namun, pada Mei tahun lalu, pemerintahan Trump menyatakan akan menarik diri dari kesepakatan nuklir yang telah ditandatangani oleh pendahulunya, Barack Obama. Trump mengembalikan semua sanksi ekonomi AS terhadap Iran, yang secara drastis mengurangi ekspor minyak Iran dan sangat merugikan ekonomi Iran yang bergantung pada minyak.

Sanksi itu juga mendorong produksi minyak Iran turun menjadi dari sepertiga dari nilai sebelumnya, dan memicu inflasi tajam yang mengganggu rakyat Iran. Sebagai tanggapan, Teheran telah mengurangi beberapa komitmen berdasarkan perjanjian nuklir 2015, dan mengancam akan melanjutkan pengayaan uranium ke tingkat yang lebih tinggi pada awal Juli. 

“Agar Jepang menjadi penengah antara Iran dan AS, atau untuk membantu membentuk kesepakatan nuklir baru, pertama-tama negara tersebut harus mendorong AS kembali ke posisi semula (berdasarkan perjanjian 2015). Tapi itu tidak mungkin," ujar profesor di Keio University, Koichiro Tanaka. 

"Jadi yang bisa dilakukan Abe (melalui kunjungannya) adalah meredakan ketegangan untuk saat ini. Itu tidak akan bertahan lama," kata Tanaka menambahkan. 

Tanaka juga memperingatkan, jika Jepang dipandang sebagai pembawa pesan yang melayani kepentingan AS, maka akan merusak hubungan bilateral Jepang dengan Iran. Meskipun merupakan sekutu militer dekat AS di kawasan Asia-Pasifik, Jepang telah bertahun-tahun mempertahankan hubungan baik dengan negara-negara Timur Tengah termasuk Iran, Israel, dan Arab Saudi. Berbeda dengan AS, Jepang mendukung kesepakatan JCPOA. Tetapi, Jepang berhenti mengimpor minyak mentah dari Iran karena sanksi ekonomi AS. 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement