Sabtu 15 Jun 2019 15:19 WIB

Undang-undang Ekstradisi Hong Kong Ditunda

Undang-undang ekstradisi ini telah menakuti beberapa taipan Hong Kong.

Rep: lintar satria/ Red: Dwi Murdaningsih
Massa penentang aturan ekstradisi berkumpul di belakang barikade di dekat kantor Dewan Legislatif di Hong Kong, Rabu malam (12/6).
Foto: AP Photo/Kin Cheung
Massa penentang aturan ekstradisi berkumpul di belakang barikade di dekat kantor Dewan Legislatif di Hong Kong, Rabu malam (12/6).

REPUBLIKA.CO.ID,  HONG KONG -- Media Hong Kong melaporkan pemerintah kota itu akan menunda memberlakukan undang-undang ekstradisi ke Cina yang memicu kemarahan warga. Kabarnya pemimpin kota Carrie Lam akan mengumumkan hal tersebut pada Sabtu (15/6) ini.

Dukungan terhadap undang-undang ekstradisi tersebut mulai runtuh pada Jumat (14/6) kemarin. Beberapa politisi pro-Beijing dan penasihat senior Lam mengatakan pembahasan undang-undang tersebut harus ditunda sementara waktu.

Baca Juga

Undang-undang tersebut berlaku bagi warga Hong Kong, Cina dan asing yang tinggal atau sedang mengunjungi kota otonom itu. Undang-undang ini dikhawatirkan mengancam supremasi hukum yang menopang status keuangan Hong Kong.

Ratusan ribu warga Hong Kong turun ke jalan memprotes undang-undang tersebut. Unjuk rasa yang dilakukan sepanjang pekan berakhir dengan kerusuhan. Polisi melepaskan tembakan gas air mata dan peluru karet ke pengunjuk rasa. Kerusahan ini menambah beban pemerintah kota. Rencananya warga akan kembali turun ke jalan pada Ahad (16/6) besok.

Pada Sabtu ini media Hong Kong iCable, South China Morning Post dan surat kabar Sing Tao melaporkan undang-undang ekstradiksi akan ditunda. TVB dan iCable mengatakan Lam akan segera menggelar konferensi pers. 

Kantor Lam tidak menjawab telpon di luar jam kerja. Chief Executive Hong Kong tersebut juga tidak terlihat didepan publik sejak hari Rabu.

Pekan lalu tampaknya tidak mungkin undang-undang yang akan didorong melalui legislatif pada bulan Juli mendatang ini dapat tunda. Lam mengatakan undang-undang ekstradiksi diperlukan untuk mencegah penjahat menggunakan Hong Kong sebagai tempat bersembunyi.

Sementara itu hak asasi manusia tetap dilindungi pengadilan kota yang akan memutuskan setiap kasus ekstradiksi. Para penentang undang-undang ini dipemimpin oleh pengacara dan kelompok hak asasi manusia.

Mereka mengatakan sistem peradilan Cina yang dikontrol Partai Komunis dikenal melakukan penyiksaan dan memaksa tersangka mengaku bersalah. Mereka juga khawatir dengan sistem peradilan Cina yang kerap menangkap orang dengan sewenang-wenang dan tidak memberikan akses kepada pengacara.

Unjuk rasa pekan lalu menjadi demonstrasi politik terbesar sejak koloni Inggris itu kembali diserahkan ke Cina pada tahun 1997 di bawah kesepakatan 'satu negara, dua sistem pemerintahan'. Kesepakatan itu menjadi otonomi khusus Hong Kong, termasuk kebebasan dewan rakyat, kebebasan pers dan independensi peradilan. 

Tapi Cina sering dituduh kerap campur tangan dalam urusan internal Hong Kong. Termasuk menghalangi reformasi demokrasi, mengintervensi pemilu, dan bertanggung jawab atas hilangnya lima penjual buku yang khusus menjual buku kritik pemerintahan Cina pada tahun 2015 lalu.

Undang-undang ekstradisi ini telah menakuti beberapa taipan Hong Kong. Menurut penasihat keuangan, bankir dan pengacara yang dekat dengan mereka, para taipan itu mulai memindahkan aset-aset pribadi keluar negeri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement