Senin 17 Jun 2019 17:52 WIB

PBB Ancam Tarik Bantuan dari Rakhine

PBB ingin menghindari terlibat kebijakan apartheid terhadap Muslim Rohingya

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nur Aini
Sejumlah warga Rohingya menunggu di truk Polisi Myanmar untuk dibawa kembali menuju penampungan sementara yang didirika pemerintah di Desa ManSi dekat Sittwe, Negara Bagian Rakhinne, Myanmar, Rabu (21/11).
Foto: Nyunt Win/EPA EFE
Sejumlah warga Rohingya menunggu di truk Polisi Myanmar untuk dibawa kembali menuju penampungan sementara yang didirika pemerintah di Desa ManSi dekat Sittwe, Negara Bagian Rakhinne, Myanmar, Rabu (21/11).

REPUBLIKA.CO.ID, RAKHINE -- Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah memperingatkan akan menarik dukungan di negara bagian Rakhine, untuk menghindari keterlibatan dalam kebijakan apartheid pemerintah terhadap Muslim Rohingya. Koordinator residen PBB, Knut Ostby mengirimkan surat kepada pemerintah Myanmar untuk menyampaikan peringatan tersebut.

Dalam sebuah surat tertanggal 6 Juni yang dilihat oleh The Guardian, Senin (17/6), PBB ancam akan menghentikan dukungan bantuan kemanusiaan di kamp-kamp pengungsi yang ditutup oleh pemerintah. Surat tersebut ditujukan untuk Menteri Kesejahteraan Sosial Myanmar, Win Myat Aye. Dalam surat tersebut dituliskan bahwa para pengungsi yang berada di kamp lama maupun kamp baru mengalami penghinaan dan tidak mendapatkan akses kebutuhan dasar maupun peluang agar mendapatkan mata pencaharian. Bahkan, lokasi kamp tetap tidak berubah. 

Baca Juga

Pemerintah Myanmar berencana untuk membangun perumahan permanen di sekitar kamp pengungsian. Hal itu dapat menimbulkan kesenjangan dan pemisahan yang nyata. Otsby mengatakan, PBB akan meneruskan pemberian bantuan jika pemerintah Myanmar membuka akses seluas mungkin bagi para pengungsi. 

"Kebijakan pemerintah Myanmar berisiko memecah belah pemisahan," ujar Otsby. 

Pada 2017, pemerintah Myanmar berjanji menutup kamp-kamp pengungsi, di mana 128 ribu Muslim Rohingya hidup dalam kondisi tidak layak dan tidak sehat. Pemerintah setuju untuk mengikuti rekomendasi komisi yang dipimpin oleh mantan Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan, yang menyerukan agar para pengungsi dipindahkan di dekat desa asal mereka dan diberikan akses mencari mata pencaharian. 

Namun, berdasarkan laporan PBB dan lembaga-lembaga kemanusiaan lainnya, kondisi kehidupan Muslim Rohingnya setelah dipindahkan tetap tidak berubah. Mereka tidak diberikan kebebasan untuk bergerak dan tidak mendapatkan akses agar bisa mencari mata pencaharian. 

Surat yang dikirimkan oleh PBB tersebut merupakan teguran keras, setelah sebelumnya mereka memberikan peringatan kepada pemerintah Myanmar. PBB dan lembaga bantuan kemanusiaan berisiko terkena pelanggaran jika mereka terus memberikan bantuan kemanusiaan. 

PBB telah berupaya untuk membawa kebijakan pemerintah tentang penutupan kamp sesuai dengan standar internasional. Pemerintah Myanmar pada beberapa kesempatan menolak bertemu dengan Ostby untuk membahas penutupan kamp. Sikap Otsby yang kuat terhadap beberapa masalah hak asasi manusia berkontribusi pada perlawanan pemerintah terhadap pembaruan kontraknya sebagai koordinator penduduk PBB.

Ostby akan mengundurkan diri dalam beberapa bulan mendatang. Sementara koordinator residen baru PBB Myanmar yang akan menggantikan Ostby adalah Ola Almgren, yang saat ini merupakan koordinatir residen di Filipina. 

Wakil Menteri Kesejahteraan Sosial Myanmar, Soe Aung mengatakan, pemerintah belum menerima surat dari Otsby. Dia menyatakan selama ini badang-badang kemanusiaan PBB di Myanmar selalu berkomunikasi dengan baik kepada Kementerian Kesejahteraan Sosial.

"Badan-badan PBB di Myanmar dan kementerian kami berkomunikasi sangat dekat dan kami membahas secara terbuka dan sering tentang kolaborasi dalam bantuan kemanusiaan, perdamaian, stabilitas dan pembangunan," kata Soe Aung.

Seorang juru bicara PBB mengkonfirmasi bahwa mereka telah mengirim surat atas nama Tim Negara Kemanusiaan kepada pemerintah pada 7 Juni 2019. Namun, juru bicara tersebut menolak untuk mengomentari isi surat tersebut. 

Peneliti Amnesty Internasional, Laura Haigh mengatakan, Rakhine telah menjadi negara apartheid selama bertahun-tahun. Lembaga bantuan kemanusiaan dan negara donor berisiko terlibat dalam pemisahan kelompok tersebut dan dapat terkena tindak kejahatan terhadap kemanusiaan.

"Status quo tidak dapat dilanjutkan, dan kecuali kita melihat kemajuan nyata menuju pemulihan hak-hak Rohingya, mereka yang memberikan dukungan atau bantuan di Rakhine," ujar Haigh. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement