Jumat 21 Jun 2019 13:11 WIB

Protes Hong Kong Kembali Meluas

Demonstran Hong Kong berbaju hitam meneriakkan slogan-slogan antipemerintah.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Ani Nursalikah
Demonstran berkumpul di jalanan dekat kantor pemerintahan di Hong Kong, Jumat (21/6). Ratusan demonstran yang kebanyakan mahasiswa memblokir jalan menuntut pemimpin Hong Kong mundur.
Foto: AP Photo/Kin Cheung
Demonstran berkumpul di jalanan dekat kantor pemerintahan di Hong Kong, Jumat (21/6). Ratusan demonstran yang kebanyakan mahasiswa memblokir jalan menuntut pemimpin Hong Kong mundur.

REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Ribuan pemrotes kembali memblokir jalan raya di luar parlemen Hong Kong, Jumat (21/6). Tuntutan para demonstran masih sama, yakni menuntut pengunduran diri pemimpin pro-Beijing atas RUU ekstradisi kontroversial yang telah memicu krisis politik terbesar dalam beberapa dekade di Hong Kong.

Protes terjadi setelah pemerintah menolak memenuhi tuntutan demonstran yang telah berbaris di depan parlemen untuk menentang RUU itu. Gerakan ini telah berubah menjadi kecaman yang lebih besar terhadap pemerintahan Pemimpin Eksekutif Carrie Lam. Kelompok oposisi pun telah menyerukan penarikan penuh undang-undang itu. Kelompok tersebut juga menuntut agar Lam mundur.

Baca Juga

Setelah berkumpul di kompleks pemerintah utama Hong Kong, ratusan pemrotes berbaju hitam banyak yang memakai masker wajah dan meneriakkan slogan-slogan antipemerintah.

Mereka mulai lagi memenuhi Harcourt Road di luar gedung parlemen. Para demonstran memblokir arteri utama sebelum mengizinkan beberapa kendaraan masuk.

Para pengunjuk rasa ini tidak dipimpin siapa pun. Aksi mereka hingga 'piknik' di luar legislatif adalah inisiatif mereka sendiri selama demonstrasi anti-pemerintah.

Banyak pemrotes yang duduk dengan payung terbuka untuk melindungi dari terik matahari, yang lain menyemprotkan air agar tetap dingin di tengah panas yang menyengat. Beberapa pemrotes juga banyak yang berteduh di bawah jembatan dekat kompleks.

"Secara fisik dan mental, saya benar-benar lelah. Tetapi tidak ada cara lain. Sebagai seorang warga Hong Kong, Anda tidak dapat keluar. Saya sangat tidak puas dengan sikap (pemerintah)," kata siswa berusia 21 tahun, Cheung Po Lam dilansir Channel News Asia, Jumat (21/6).

Beberapa demonstran di kompleks pemerintah juga ada yang membawa papan bertuliskan permintaan kepada polisi untuk tidak menembaki mereka. Menyusul aksi kekerasan sporadis minggu lalu antara pejabat keamanan dan pengunjuk rasa.

Selain meminta Lam mundur dan membatalkan RUU ekstradisi, pengunjuk rasa juga meminta pembebasan dari mereka yang ditahan selama bentrokan pekan lalu. Pemrotes juga mendesak penyelidikan atas tuduhan kebrutalan polisi.

photo

"Pemerintah masih belum menanggapi tuntutan kami. Setelah beberapa hari mereka semua berbicara tentang sampah dan saling menyalahkan. Jadi, saya merasa kita harus keluar dan memberi tahu mereka: kita warga tidak akan menerima tanggapan palsu seperti itu," kata pengunjuk rasa Poyee Chan (28 tahun).

Seruan untuk protes Jumat dibuat oleh serikat siswa kota, serta penyelenggara informal atas media sosial dan aplikasi pengiriman pesan seperti Telegram. "Memekar di mana-mana," dituliskan pada sebuah pernyataan yang disiarkan Kamis di grup obrolan Telegram.

"Ada banyak cara untuk berpartisipasi. Pikirkan baik-baik tentang cara Anda sendiri untuk menunjukkan cinta Anda ke Hong Kong. 21 Juni bukanlah akhir dari pertarungan, akan ada lebih banyak dalam beberapa hari mendatang," ujar seruan yang disiarkan di grup Telegram.

Kelompok tersebut juga merekomendasikan pemogokan sekolah, kuliah, dan kerja massal. Meski belum jelas kelompok bisnis atau profesional mana yang akan mendukung panggilan tersebut.

Sejauh ini, Lam telah menentang panggilan untuk mundur. Ia sebelumnya telah meminta maaf, dan menangguhkan tagihan tanpa batas waktu. Namun, ia telah gagal memadamkan kemarahan.

Kantor pemerintahan di kompleks ditutup pada Jumat karena pertimbangan keamanan. Meskipun Hong Kong dikembalikan dari Inggris ke pemerintahan Cina pada tahun 1997, Hong Kong masih dikelola secara terpisah di bawah pengaturan yang dikenal sebagai "satu negara, dua sistem".

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement