Rabu 08 May 2019 13:31 WIB

Pemilu dengan E-Voting Mudahkan Pemilih Maupun Petugas KPPS

Lebih dari 400 petugas KPPS tercatat meninggal dunia selama proses pemilu.

Rep: deutsche-welle/ Red:
Pemilu Menggunakan E-voting Mudahkan Pemilih Maupun Petugas KPPS
Pemilu Menggunakan E-voting Mudahkan Pemilih Maupun Petugas KPPS

Lebih dari 400 petugas KPPS tercatat meninggal dunia selama proses pemilu serentak 2019. Penghitungan suara yang memakan banyak waktu serta banyaknya surat suara untuk lima tingkat pemilihan dinilai tidak efisien. Gagasan penerapan pemilu berbasis digital pun dipertimbangkan. Simak wawancara eksklusiv DW bersama Andrari Grahitandaru, Kepala Program Sistem Pemilu Elektronik Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

DW : Berkaca kepada proses pemilu serentak tahun ini, pertama kali masyarakat mencoblos lima surat suara. Kemudian lebih dari 400 petugas KPPS meninggal dunia. Gagasan pelaksanaan pemilu menggunakan e-voting pun mengemuka. Apakah BPPT sudah siap dengan sistem e-voting?

Andrari Grahitandaru: Ya setidaknya itu kan ada banyak komponen. Bahwa komponen itu, tidak salah satu komponen saja. Minimal ada lima kesiapan. Yang pertama teknologi, kesiapan teknologi ini termasuk sejauh mana sudah diterapkan. Dari segi teknologi kami sudah menerapkan di tingkat pemilihan kepala desa di 18 kabupaten sebanyak 981 desa.

Sejak kapan e-voting ini diterapkan?

Pemilihan kepala desa itu dilaksanakan sejak 2013. Sebetulnya target penerapan teknologi e-voting itu tidak untuk di pemilihan kepala desa tapi untuk pemilu nasional. Oleh karenanya pemilu di Indonesia itu amanat Undang-undang maka pertama kali yang dilakukan uji materi di Mahkamah Konstitusi terkait istilah coblos, ini tidak lagi coblos tetapi sentuh panel komputer. Ketika putusan MK sudah keluar barulah mulai dikembangkan serius dan sejak bersamaan dengan tingkat nasional kita melaksanakan simulasi-simulasi pilkada. Kemudian saat pertemuan dialog nasional menuju pemilu elektronik, KPU menyelenggarakan itu tiap tahun, kemudian salah satu Bupati, yakni Boyolali mengusulkan kalau memang di tingkat pemilu nasional atau pilkada belum bisa diterapkan kenapa tidak diterapkan di pilkades saja karena kami sangat butuh. Pemilihan kepala desa juga amanat undang-undang tetapi pelaksananya adalah kabupaten bukan KPU. Disitu awalnya.

Kesiapan yang kedua adalah kesiapan penyelenggara. Penyelenggara Pemilu Nasional adalah KPU yang menyelenggarakan pilkada, pileg, pilpres, pilgub, pemilihan bupati/walikota, ada empat pemilu yang diselenggarakan oleh KPU. Sementara KPU juga tunduk pada Undang-undang, ketika pemilu elektronik itu belum ada di Undang-undang dia juga tidak bisa melaksanakan. Maka putusan MK itu tidak serta merta berlaku dapat diseleggarakan oleh KPU, harus masuk dulu dalam Undang-undang. Nah untuk pilkada itu sudah masuk tapi masih diperlukan peraturan KPU. Itulah yang dibuat KPU sampai saat ini.

Dari KPU sendiri merasa sistem e-voting belum siap untuk skala nasional, rawan kendala dari segi infrastruktur dan biaya. Sementara dengan manual lebih bisa diawasi dan dipertanggungjawabkan. Tanggapan Anda?

Itu pernyataan klasik ya bahkan semua orang menyatakan demikian. Padahal e-voting yang dirancang oleh BPPT ketika proses pemungutan suara dari sejak TPS buka jam tujuh sampai TPS tutup itu perangkat tidak terhubung ke jaringan apapun. Karena kami paham pemungutan suara itu adalah rahasia dan tidak boleh diganggu oleh siapapun jadi itu steril. Tidak seperti 26 negara yang menggunakan e-voting itu semuanya online, jadi kita belajar dari mereka tentang e-voting itu konotasinya sudah hacker.

Jadi saat pengumutan suara, perangkat e-voting tersebut offline?

Prinsipnya rahasia sedangkan standar teknis keamanan sistem informasi sesuai ISO 27000:1 itu tidak memenuhi ketika proses pemungutan yang rahasia itu. Jadi karena standar kemanan tersebut tdak terpeuhi kami ya juga tidak menerapkan itu, benar-benar offline. Ketika TPS tutup, hasil keluar, itulah yang dikirim baru memerlukan koneksi internet, kirim sekali klik send, tayang sudah. Jadi benar-benar aman. Yang dikirim bukan hanya hasilnya saja, angkanya saja, yang nanti secara nasional itu terekapitulasi secara otomatis, per bilik berapa, per TPS berapa, per desa berapa, itu otomastis mereka hitung lagi. Itu angkanya yang terekapitulasi sehingga setiap tingkat dapat diaudit. Kenapa? Karena dari tiap-tiap TPS form plano atau kalau e-voting tidak ada lagi form plano. Form C1 yaitu hasil hitung rekapnya per TPS, itu langsung difoto upload dan yang mengupload adalah KPPS-nya sendiri dan ditandatangani digital oleh KPPS-nya dan ketika itu kita upload kemudian ada sengketa, maka dokumen itu bisa menjadi bukti hukum yang sah di pengadilan karena jelas siapa yang mengupload siapa yang menandatangani. Pemilu kita menjadi efisien, menjadi murah, karena mempertimbangkan sampai ke proses sengketa. Bahkan bukan hanya di proses pemungutan, di verfikasi pemilih itu juga kami lakukan menggunakan alat baca KTP elektronik yang disitu kemudian pemilih tidak bisa lagi ganda, memilih lebih dari satu kali. Pemilih fiktif ketahuan, dapat diaudit. Hasil pemilu yang sekarang form C7 itu absensi pemilih sering kali tidak sama sama hasilnya karena banyak yang double, mereka bisa memilih lebih dari satu kali. Di sistem kita, di aplikasi DPT kita ini, ketika file DPT itu diupload, katakanlah DPT nya 500, ketika diupload sering kali tidak 500 tapi kurang, 490 gitu. Kenapa? Ya karena ganda. Kalau ganda sudah tidak bisa masuk. Tapi DPT yang 500 tadi sudah sah jadi kami sudah beri tanda didalamnya, ini loh ganda. Jadi ketika ada yang datang dua kali sudah tidak bisa.

Kita dulu sempat berubah teknik dari menggunakan paku ke pulpen lalu mundur lagi ke pulpen. Lantas bagaimana cara BPPT ke tempat pemilihan di daerah terpencil. Banyak yang belum tersentuh teknologi. Dari BPPT sudah mempertimbangkan hal ini?

Sekarang ketika pilkades, pilkades tuh dimana? Pemilihan kepala desa itu tuh di dusun-dusun, di desa-desa, di gunung-gunung yang tidak ada listriknya. Tapi masyarakatnya bisa. Siapa mereka? Mereka masyarakat-masyarakat yang tidak sekolah, buruh karet, tidak sekolah, hidup di hutan bahkan suku anak dalam yang di Kabupaten Sarolangun itu bisa. Masalahnya gini, ketika Kabupaten Sarolangun banyak penduduk suku anak dalam, kemudian ada salah satu yang mantan suku anak dalam, kemudian dia mencalonkan jadi kepala desa, jadi dia punya kepentingan ke teman-temannya itu dimobilisasi yang mantan suku anak dalam ini untuk merekam KTP elektronik. Punya KTP dulu yang selama ini mereka disuruh merekam tidak mau, untuk apa funsgi KTP elektronik pada tidak mau. Tapi karena ini temannya dengan bahasa yang sama akhirnya mau. Bayangkan satu desa ada 25 suku anak dalam yang mereka mobilisasi untuk direkam dan pada hari H mereka mau mereka datang dan bisa. Tidak harus bergantung pada listrik PLN, pakai aki mobil bisa, pakai genset bisa. Tidak ada internet, infrastruktur internet? Kita bicara soal Indonesia ketika pengiriman saja kita butuh internet. Ketika beberapa desa tidak ada internet tidak apa-apa, perangkatnya dikirim dulu ke kecamatan baru di kecamatan dibuka kembali langsung dikirim dari kecamatan. Yang penting ngirimnya itu tidak ada keterlibatan manusia langsung dari mesin.

Bisa Anda jelaskan seperti apa mekanisme perangkat e-voting ini?

Jadi ketika dia sudah diverifikasi menggunakan KTP elektronik maka sudah hadir statusnya maka dia mendapatkan kartu token. Ini ketika diberikan kemudian pemilih menuju ke bilik. Di bilik kemudian kartu ini tidak harus dia masukkan sendiri bisa dibantu panitia, jadi benar-benar pemilih itu dimudahkan. Nanti ketika masuk bilik sudah bisa melihat surat suara. Kemudian ada suaranya "silahkan memilih". Satu TPS lengkap, kalau kita pemilih, di bilik itu kan antara 500-800 pemilih. Padahal kalau di pilkades itu bisa 1.000 – 2.000 dan bisa selesai sampai jam empat sore karena kan cepat, tidak perlu hitung-hitung lagi. Kalau misalnya di pilkades bisa selesai jam tiga, itu bisa menampung, mesinnya sih bisa tidak terbatas, berapapun bisa. Yang membatasi waktu. Jadi kalau 500 pemilih aja jam 11 juga selesai, tapi ini kan kalau aturannya jam 1 tutup, jadi langsung selesai.

Berapa biaya untuk satu perangkat?

Perangkatnya itu satu TPS itu kira-kira 50 jutaan tapi ingat ketika pemilu kita nasional menggunakan perangkat elektronik membutuhkan kesiapan pola pembiayaan. Persiapan pembiayaan ini tentu satu kesatuan dengan penyelengara. Penyelenggara mengusulkan anggaran, tetapi pengusulan anggaran ini tentu beda dengan menggunakan kertas. Kertas sekali pakai habis, ini sekali pakai perangkatnya bisa dipakai berkali-kali. KPU menyelenggarakan empat kali pemilihan umum yaitu pileg, pilpres, pilgub, dan pemilihan bupati/ walikota, empat. Jadi setiap lima tahun sekali kita penduduk Indonesia milih lima kali. Jauh lebih hemat, oleh karenanya kita sering kali di berbagai Negara "Oh itu sekarang pakai peralatan elektronik tapi kembali lagi ke manual". Kenapa mereka kembali lagi ke manual? Itu bukan karena teknologinya tetapi karena mereka belum merubah proses bisnisnya. Proses bisnisnya masih sama seperti proses manual, yaitu setiap kali pemilu tender. Elektronik kok ditender. Makanya ini terjadi seperti yang di Jerman kembali ke manual, Venezuela, Filipina yang berganti-ganti teknologi. Dulu pakai e-voting kemudian e-counting. Jadi usulan kami, perspektif kami, lihatlah India. Penduduk India hampir satu miliar kan tetapi pemilu elektroniknya itu berkelanjutan dan baik, kenapa? Perangkatnya diperbaiki secara fungsional, untuk masyarakatnya sih tetap, tetapi fungsinya lebih aman. Yang tadinya ga ada struknya jadi ada struknya, itu karena KPU India didukung oleh satu industri nasional mereka namanya ECIL (Electronic Corporation India Limited) jadi di ECIL ini sebagai BUMN nya India itu tugasnya mendistribusikan perangkat, menarik kembali, menyimpan, memelihara, dan mengembangkan. Sekarang KPU mau tidak seperti itu? Kan tidak perlu tender kertas lagi.

Jadi saat ini BPPT tinggal menunggu bola dari KPU saja?

Iya. Untuk pileg dan pilpres kemarin itu sebetulnya undang-undang sendiri, Undang-undang Pilpres yang disatukan dengan Undang-undang Pileg. Tadinya satu-satu kan, masing-masing. Undang-undang pilpres sendiri, Undang-undang pileg sendiri. Kemudian dua undang-undang itu disatukan. Pembahasannya itu awal 2017, itu pada saat masih RUU sudah termaktub semuanya menggunakan peralatan elektronik, untuk pemungutan, untuk menghitung, untuk rekapnya. Makanya Pansus Pemilu itu rapat pertama kali yang diundang adalah BPPT dan PT. INTI sebagai penyelengara pemasok perangkat yang mana hasil inovasi dari BPPT sudah dialihkan ke PT. INTI sebagai BUMN. Kami ke sana mendemokan ke DPR RI, kemudian bulan Maret mereka studi banding ke Jerman yang saat itu perangkatnya tidak ada struknya. Makanya pulang-pulang dari studi banding bulan Mei tiba-tiba menuliskan kembali "orang Jerman tidak lagi menggunakan e-voting karena mereka lebih suka bukti hukum manual". Dalam hati saya berpikir, kenapa dia lebih senang bukti hukum manual padahal kita ada. Struk itu kan bukti hukum manual, bahwa bukti hukum elektronik ada, bukti hukum manualnya juga ada. Memang saat itu di Jerman tidak ada makanya dia bisa bilang begitu.

Sejauh ini sudah ada empat kesiapan yang saya tangkap yaitu teknologi, penyelenggara, biaya, dan legalitas. Lantas apakah kesiapan yang terakhir?

Masyarakat. Masyarakat itu sudah dibuktikan. Dulu waktu kita sosialisasi e-voting para elit yang mengatakan mana mungkin Indonesia pakai e-Voting. Masyarakat kita banyak yang gaptek (gagap teknologi /red). Ternyata itu tidak terbukti ketika sudah dilaksanakan di pilkades, justru itu dimudahkan masyarakatnya yang tinggal sentuh pakai jari. Jadi di TPS ga perlu perangkat apa-apa, emang kita harus mengenal komputer dulu baru bisa menggunakan e-voting? Kan tidak. Dia cuma lihat gambar kok, tinggal disentuh. Justru yang mungkin mereka katakan tidak siap karena perangkat-perangkat e-voting yang ada di dunia itu semuanya bentuknya terintegrasi, jadi satu, jadi masukin kartunya dari dalam bilik. Bayangkan kalau nenek-nenek masukin kartunya sendirian di dalam bilik, udah gemetaran kali masukinnya bagaimana. Kalau kami kan tidak, panitia di depan bilik sudah memasukkan. Kemudian struknya sudah terintegrasi. Kalau pemilih di Indonesia itu kan nanti yang dimasukkan struk yang mirip di Indomaret, bukan struk yang keluar dari perangkat e-voting. Makanya printer-nya kita letakkan di samping bilik itu yang membuat beda dan unik dengan e-voting di dunia. C1 nya bisa dicetak sebanyak-banyaknya sesuai hati kita, tinggal difoto terus di-upload. Proses e-voting itu selain dia cepat akurat kemudian juga memenuhi asas luber jurdil kemudian dia juga menghasilkan bukti hukum yang sah, baik bukti hukum manual atau bukti hukum elektronik. Jadi dokumen elektronik yang diupload sah menjadi bukti hukum manakala yang mengupload, darimana, oleh siapa, dan keabsahannya itu ada nama tandatangan digital dan watermark atas nama KPPS itu. Jadi seminggu atau satu hari sebelum pemilu setiap KPPS salah satu saja sudah apply sertifikat digital di handphone-nya.

Wawancara dilakukan oleh Jurnalis Deutsche Welle Rizki Akbar Putra.

Andrari Grahitandaru adalah Kepala Program Sistem Pemilu Elektronik BPPT. BPPT ( Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) adalah Lembaga Pemerintah Non Departemen Indonesia yang berada di bawah koordinasi Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengkajian dan penerapan teknologi.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement