Sabtu 09 Jun 2018 09:48 WIB

Parlemen Jerman Serukan Penghentian Kekerasan Rohingya

Parlemen Jerman lewat sebuah resolusi jua meminta pemerintah mengambil tindakan.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Ratna Puspita
Suasana perumahan di Kamp Pengungsi Rohingya di Propinsi Sittwe, Myanmar.
Foto: Edwin Dwi Putranto/Republika
Suasana perumahan di Kamp Pengungsi Rohingya di Propinsi Sittwe, Myanmar.

REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN -- Parlemen Jerman menyerukan penghentian penindasan dan kekerasan terhadap etnis Rohingya. Hal ini termaktub dalam sebuah resolusi yang diadopsi pada Kamis (7/6) malam waktu setempat.

Resolusi yang mendapat dukungan luar biasa oleh segenap anggota parlemen ini pun meminta pemerintahan koalisi Kanselir Angela Merkel mengambil tindakan. Pemerintahan Merkel diminta menggunakan pengaruhnya terhadap Myanmar agar negara tersebut menghentikan kekerasan dan mengakui hak-hak Rohingya.

"Rohingya harus diberikan hak sipil dan politik penuh, serta kewarganegaraan Myanmar," kata resolusi tersebut, seperti dikutip laman Anadolu Agency.

Dalam resolusi juga disinggung tentang repatrasi Rohingya dari Bangladesh ke Myanmar. Parlemen Jerman berharap proses tersebut dapat dilaksanakan dengan aman, sukarela, dan bermartabat.

Lebih dari setengah juta warga Rohingya telah melarikan diri dan mengungsi ke Bangladesh sejak militer Myanmar menggelar operasi di negara bagian Rakhine pada Agustus tahun lalu. Operasi digelar untuk memburu gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). 

Namun, dalam pelaksanaannya pasukan atau para tentara Myanmar turut menyerang dan menghabisi warga sipil Rohingya di sana. PBB telah menyatakan bahwa yang dilakukan militer Myammar terhadap Rohingya merupakan pembersihan etnis. 

PBB juga telah menggambarkan Rohingya sebagai orang-orang yang paling teraniaya dan tertindas di dunia. Pada November 2017, Myanmar dan Bangladesh telah menyepakati proses repatriasi pengungsi. 

Namun, pelaksanaan kesepakatan ini belum optimal. Cukup banyak pengungsi Rohingya di Bangladesh yang enggan kembali ke Rakhine.

Mereka mengaku masih trauma atas kejadian yang menimpanya pada Agustus tahun lalu. Selain itu, kesepakatan repatriasi pun tak menyinggung perihal jaminan keamanan dan keselamatan bagi warga Rohingya yang kembali. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement