Senin 02 Jul 2018 16:35 WIB

Saudi Bunuh Warga Sipil Yaman, Belgia Setop Kirim Senjata

Belgia mengikuti langkah Norwegia dan Jerman menangguhkan ekspor senjata ke Saudi.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Boeing F-15 Eagle milik Angkatan Bersenjata Arab Saudi.
Foto: national interest
Boeing F-15 Eagle milik Angkatan Bersenjata Arab Saudi.

REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Pengadilan Tinggi Administrasi Belgia menangguhkan delapan surat izin pengeksporan senjata ke Arab Saudi. Penangguhan dilakukan dengan alasan hak asasi manusia (HAM).

Dilaporkan laman Al Araby, keputusan penangguhan ekspor senjata tersebut diadopsi pada akhir pekan lalu. Keputusan itu akan memengaruhi transaksi pabrikan senjata Belgia, yakni FN Herstal. Tahun lalu, FN Herstal membukukan nilai transaksi sebesar 179 juta dolar AS dari ekspor senjata ke Saudi. 

Sebelum Belgia, Norwegia dan Jerman juga telah melakukan hal serupa. Pada 2016, Parlemen Eropa menyerukan Uni Eropa untuk memberlakukan embargo senjata terhadap Saudi. Hal itu karena Saudi dianggap telah menggunakan senjata buatan Eropa untuk menargetkan warga sipil Yaman.

Saudi diketahui tengah melakukan operasi militer di Yaman guna memerangi milisi Houthi. Namun serangan udara yang bertubi-tubi dilancarkan Saudi, turut membunuh ribuan warga sipil, termasuk anak-anak.

The Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) pernah merilis data tentang ekspor-impor persenjataan secara global dalam kurun lima tahun terakhir, yakni antara 2013 hingga 2017, pada Maret lalu. Data tersebut menunjukkan Timur Tengah menjadi pasar utama penjualan senjata oleh Amerika Serikat (AS) dan Eropa. 

Berdasarkan data SIPRI, senjata-senjata produksi AS telah dikirim ke 98 negara. Namun sebagian besar pasokan senjatanya dikirim ke Timur Tengah yang masih dibekap konflik. SIPRI mengatakan Timur Tengah menyumbang 32 persen impor senjata secara global.

Antara tahun 2013 hingga 2017, impor senjata ke Timur Tengah telah naik berlipat ganda. Selain AS, Inggris dan Prancis juga menjadi pemasok persenjataan ke wilayah tersebut. Adapun negara yang menjadi pelanggan utama ketiga negara tadi adalah Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Mesir.

Inggris telah meningkatkan kerja sama dalam bidang militer ketika Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman mengunjungi negara tersebut pada awal Maret lalu. Inggris diketahui mengekspor hampir setengah dari persenjataannya ke Saudi. Hal itu memang didukung oleh kebijakan Saudi yang meningkatkan impor persenjataannya sebesar 225 persen dalam lima tahun terakhir.

Berdasarkan laporan SIPRI, peningkatan impor senjata oleh Saudi dilakukan untuk menyokong kepentingan militernya di Yaman. Saudi telah memulai intervensi militer di negara tersebut sejak 2015. Tujuan dari operasi militer Saudi di Yaman adalah menumpas kelompok Houthi yang didukung Iran. Pertempuran koalisi militer yang dipimpin Saudi dengan Houthi telah menyebabkan Yaman didera krisis kemanusiaan terburuk di dunia.

Hal itu pula yang menjadi titik kritik SIPRI. Peneliti senior program pelelangan senjata dan pengeluaran militer SIPRI, Pieter Wezeman mengatakan, konflik yang meluas dan tak kunjung usai di Timur Tengah telah memicu perdebatan tentang pembatasan penjualan senjata.

"Konflik kekerasan yang meluas di Timur Tengah dan kekhawatiran tentang hak asasi manusia telah memunculkan perdebatan di Eropa barat dan Amerika Utara tentang membatasi penjualan senjata," kata Wezeman menerangkan.

Kendati demikian perdebatan dan polemik tak menghentikan negara-negara terkait untuk mengekspor senjatanya ke Timur Tengah. "Negara-negara Amerika Utara dan Eropa tetap menjadi eksportir senjata utama di wilayah tersebut dan memasok lebih dari 98 persen senjata yang diimpor Arab Saudi," ungkap Wezeman.

Berdasarkan data SIPRI, selain Saudi, negara lain yang meningkatkan impor senjatanya adalah Israel, yakni sebesar 125 persen. Adapun pemasok utama persenjataan ke Israel adalah AS, Jerman, dan Italia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement