Selasa 02 Oct 2018 14:27 WIB

Ratusan Ribu Warga Katalunya Peringati Referendum Merdeka

Pemerintah Spanyol dinilai represif terhadap warga Katalunya yang ikut referendum.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Warga Katalunya berunjuk rasa memprotes keputusan Pengadilan Nasional memenjarakan pemimpin oposisi Katalunya oleh pemerintas Spanyol di Barcelona,
Foto: Emillio Morenatti/AP
Warga Katalunya berunjuk rasa memprotes keputusan Pengadilan Nasional memenjarakan pemimpin oposisi Katalunya oleh pemerintas Spanyol di Barcelona,

REPUBLIKA.CO.ID, BARCELONA – Sebanyak 180 ribu warga Katalunya menggelar pawai dalam rangka memperingati setahun penyelenggaraan referendum kemerdekaan pada Senin (1/10). Pawai itu dipusatkan di Ibu Kota Katalunya, Barcelona.

Dalam aksinya, massa membawa dan mengibar-ngibarkan bendera Katalunya. Mereka berteriak, “kebebasan untuk tahanan politik”,  mengacu pada pemimpin gerakan kemerdekaan Katalunya yang telah ditangkap dan ditahan otoritas Spanyol pascareferendum tahun lalu.

Maria Vila, seorang pendukung kemerdekaan Katalunya yang berpartisipasi dalam aksi tersebut mengatakan, dia ingin menyoroti kekerasan yang dilakukan otoritas keamanan Spanyol terhadap warga Katalunya yang mengikuti referendum kemerdekaan pada 2017. Menurutnya hal itu menjadi bukti represifnya Pemerintah Spanyol.

Ia berpendapat referendum tahun lalu nyaris mengantarkan Katalunya menjadi sebuah negara merdeka. Oleh sebab itu, dia menuntut Pemerintah Katalunya saat ini melakukan lebih banyak upaya guna mewujudkan negara Katalunya.

“Pemerintah Katalan belum berbuat banyak dan kami bertekad untuk membuat Republik Katalan terjadi, dengan cara apa pun yang kami bisa, bahkan jika itu dengan mengadakan referendum lain, yang legal,” kata Vila.

Katalunya telah menggelar referendum kemerdekaan pada 1 Oktober 2017. Saat itu situasi cukup tegang karena aparat keamanan Spanyol berusaha menutup tempat pemungutan suaran dan membubarkan massa yang hendak memberikan suaranya. Kendati demikian, pemungutan suara tetap berlangsung.

Hasil referendum itu menunjukkan lebih sekitar 90 persen warga Katalunya menghendaki pemisahan diri dari Spanyol. Kala itu, pemimpin Katalunya Carles Puigdemont tidak mendeklarasikan kemerdekaan wilayahnya secara tegas dan eksplisit, tapi justru menggunakan hasil referendum untuk bernegosiasi dengan Madrid.

Namun Pemerintah Spanyol enggan meladeni Puigdemont karena menganggap referendum kemerdekaan itu adalah ilegal. Setelah tarik menarik, parlemen Katalunya akhirnya memutuskan mendeklarasikan kemerdekaan wilayah tersebut. 

Pascadeklarasi, Pemerintah Spanyol segera mengaktifkan pasal 155 Konstitusi Spanyol. Dengan aktifnya pasal tersebut, Madrid memiliki wewenang mengambil alih dan mengontrol langsung pemerintahan otonom Katalunya.

Perdana menteri Spanyol kala itu, Mariano Rajoy, segera memecat Puigdemont sebagai pemimpin Katalunya. Ia pun memberhentikan wakil dan semua menteri regionalnya. Setelah itu Pengadilan Tinggi Spanyol menerbitkan surat perintah penangkapan Eropa terhadap Puigdemont dan empat anggota kabinetnya yang telah bertolak ke Belgia.

Perselisihan antara pemerintah Katalunya dan Spanyol saat ini dianggap merupakan yang terburuk dalam beberapa dekade terkahir. Apalagi Pemerintah Spanyol telah mengaktifkan pasal 155 Konstitusi Spanyol. Pasal 155 Konstitusi Spanyol tahun 1978 tidak pernah diaktifkan selama empat dekade terakhir, tepatnya ketika demokrasi dipulihkan pada akhir era kediktator Jenderal Francisco Franco.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement