Ahad 18 Nov 2018 12:07 WIB

Respons Perang Dagang AS-Cina, Pimpinan APEC Cari Persatuan

AS dan Cina tak sungkan saling menjatuhkan.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Friska Yolanda
Bendera Cina dan AS
Foto: AP PHOTO/Andy Wong
Bendera Cina dan AS

REPUBLIKA.CO.ID, PORT MORESBY -- Para pemimpin dari 21 negara anggota Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) mencari persatuan di tengah perang ekonomi antara Amerika Serikat (AS) dan Cina. AS dan Cina merupakan dua negara yang paling kuat di APEC. 

Setelah menggelar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) APEC selama dua hari di Papua Nugini, para pemimpin dari negara anggota akan berusaha membuat pernyataan tentang bagian-bagian agenda yang tidak kontroversial. Mereka pun akan mendorong integrasi ekonomi. 

KTT APEC kali ini telah dibayangi perang kata-kata antara Wakil Presiden AS Mike Pence dan Presiden Cina Xi Jinping. Keduanya tak sungkan untuk saling menjatuhkan dalam pidatonya masing-masing. 

Saat berpidato pada Sabtu (17/11), Pence memperingatkan agar negara-negara lebih kecil tidak tergoda atau tergiur dengan proyek infrastruktur Cina, yaki One Belt One Road (OBOR). Sebab ia melihat Beijing menawarkan pinjaman kepada negara-negara miskin untuk proyek konstruksi dan pembangunan. 

Menurutnya, dana yang dipinjamkan Cina telah menyebabkan utang negara-negara kecil melonjak tajam. Pence menyerukan negara-negara untuk tetap bersama AS. Sebab AS, kata Pence, tidak pernah menenggelamkan negara mitranya dalam lautan utang. Di sisi lain, AS pun tak pernah memaksa, merusak, atau mengompromikan kedaulatan serta kemerdekaan mitranya. 

Sementara Xi, dalam pidatonya menegaskan, proyek OBOR bukan sebuah jebakan. Ia menyatakan tidak ada agenda tersembunyi di balik proyek tersebut. 

Ia pun secara tegas mengecam proteksionisme perdagangan AS dengan jargon "America First". Menurut Xi, hal itu merupakan pendekatan dengan cara pandang pendek dan ditakdirkan untuk gagal. 

Aksi saling serang dan menjatuhkan antara Xi dan Pence di KTT APEC tak pelak memicu kekhawatiran para pelaku bisnis. Mereka menilai, perang ekonomi AS dengan Cina dapat melumpuhkan perekonomian Pasifik. 

"Pemimpin bisnis tidak ingin berbicara, tapi di belakang layar, di sini, mereka berbicara sambil makan malam dan mengatakan 'bagaimana ini bisa terjadi'," ujar CEO Digicel Denis O'Brien, dikutip laman the Straits Times, Ahad (18/11). 

"Ini adalah situasi yang sangat terpaksa, satu negara berusaha memaksa semua negara lain untuk mengubah tarif yang disetujui selama bertahun-tahun," katq O'Brien menambahkan. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement