Selasa 04 Dec 2018 09:15 WIB

Demonstran Rompi Kuning: Ada Ketidakadilan Sosial di Prancis

Kebijakan Macron dinilai hanya menguntungkan elite dan orang kaya.

Rep: Lintar Satria/ Red: Nur Aini
Demonstran rompi kuning Prancis, ilustrasi
Foto: AP Photo/Kamil Zihnioglu
Demonstran rompi kuning Prancis, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Demonstrasi yang berujung kerusuhan di Paris dinilai menunjukkan adanya patahan atau kerusakan dalam sistem masyarakat Prancis. Kerusuhan yang terjadi tiga pekan berturut-turut itu juga memperlihatkan adanya bentrokan antara mereka yang kaya dan miskin.

Pembicaaraan antara pengunjuk rasa dengan Presiden Prancis Emmanuel yang tidak lagi populer di mata rakyatnya dinilai tidak akan menghasilkan apa-apa. Hal itu karena persoalan utamanya keadilan sosial yang kian menajam. Koordinator demonstrasi rompi kuning di Paris, Thierry Paul Valette mengatakan pajak bahan bakar hanya menjadi pemicu demonstrasi.

"Jika bukan itu pasti karena hal lainnya, orang-orang ingin keadilan ekonomi, mereka ingin keadilan sosial," kata Paul Valette, Selasa (4/12).

Ketidakpuasan karena meningkatnya biaya hidup rakyat kecil terus tumbuh bersamaan dengan marjinalisasi yang mereka terima. Pendekatan Macron yang menaikkan pajak bahan bakar untuk mengurangi penggunaan bahan bakar dari fosil, dinilai menyebabkan banyak kesulitan bagi rakyat Prancis.

Pengunjuk rasa mengatakan peraturan-peraturan Macron hanya menguntungkan elite dan warga kota yang kaya. Para pengunjuk rasa yang mengatakan mereka mewakili rakyat kecil menyebut diri mereka sebagai 'rompi kuning'.

"Jelas posisi presiden Macron tidak dapat dipertahankan, penghinaan bagi rakyat Prancis yang menderita dan penghinaan bagi rakyat Prancis yang tidak berpunya," kata Valette.

Gerakan rompi kuning ini tidak memiliki pemimpin tapi mereka berusaha tetap terorganisir dan memilih perwakilan untuk bernegosiasi dengan pemerintah. Usaha untuk menggelar pertemuan dengan Perdana Menteri Edouard Philippe pada pekan lalu gagal. Kabarnya ada pertemuan lain yang akhirnya gagal pada Selasa (4/12) ini. Tapi belum berhasil dikonfirmasi kebenarannya.

Gerakan rompi kuning diorganisir melalui media sosial pada Oktober lalu. Sosiolog dari Sorbonne, Jean-Francois Amadieu mengatakan gerakan ini awalnya hanya untuk para pensiunan, wiraswasta kecil, pengrajin, dan orang-orang yang memiliki kesulitan untuk bertemu. Seringkali pertemuan dilakukan di perdesaan dan kebanyakan berusia 30 sampai 40 tahun.

Ketika pemerintah Prancis bersiap untuk menghadapi unjuk rasa pekan keempat kini ketidakpuasan juga menyebar ke pekerja mobil ambulan dan para siswa yang kecewa dengan reformasi pendidikan. Amadieu mengatakan ini tanda bahaya. Ia yakin unjuk rasa ini bisa dihentikan beberapa pekan lalu.

Amadieu menambahkan presiden Macron yang berusia 40 tahun dikelilingi tim muda yang tidak berpengalaman. Mereka salah membaca tanda-tanda ketidakpuasan rakyat dan gagal memahami desakan rakyat untuk mengubah kebijakan anggaran tidak selalu menjadi jalan terbaik di Prancis.

"Orang-orang ini yang berpikir menjalankan negara seperti menjalankan perusahaan rintisan," kata Amadieu.   

Popularitas Macron terus merosot, ia juga dikenal sebagai presiden yang memimpin dengan arogan dan tidak peka. Macron pernah berkata kepada seorang pengangguran ia bisa mendapat pekerjaan jika ia mau 'menyeberang jalan'. Ia juga pernah meminta pensiunan untuk tidak banyak mengeluh.

"Tidak seorang presiden pun yang berkomunikasi seperti itu," kata Amadieu.

Kerusuhan menyebabkan 130 orang terluka dan 400 orang lainnya ditahan. Dalam kerusuhan di luar Paris tiga orang dilaporkan meninggal dunia. Para pengunjuk rasa menutup jalan-jalan strategis. Amadieu mengatakan kekerasan telah menjadi tanda harus ada perubahan yang dilakukan.

"Kami semua belajar tentang pengambilalihan (penjara) Bastille dan Revolusi Prancis, perubahan selalu melalui paksaan, sayangnya itu yang selalu terjadi di Prancis," kata Amadieu.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement