Rabu 09 Jan 2019 08:24 WIB

Pelajar di Balik Peretasan Data Politisi Terbesar di Jerman

Peretasan oleh pelajar berusia 20 tahun menjadi salah satu yang terbesar di Jerman.

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Nur Aini
Hacker (ilustrasi)
Foto: pixabay
Hacker (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, WIESBADEN -- Seorang pelajar mengaku telah melakukan salah satu peretasan data terbesar di Jerman. Pengakuan yang diumumkan polisi pada Selasa (8/1) itu mengakhiri misteri tentang siapa yang meretas data Kanselir Jerman Angela Merkel dan pejabat-pejabat publik lainnya.

Polisi tidak menyebutkan nama pelajar berusia 20 tahun itu, tetapi mengungkapkan laki-laki itu tinggal bersama orang tuanya, bukan pakar komputer, dan tidak memiliki catatan hukuman sebelumnya. Meskipun demikian, ia berhasil mengakses dan membocorkan data serta dokumen pribadi milik sekitar 1.000 orang, termasuk Kanselir Merkel, politisi, dan jurnalis.

Pelajar itu ditahan setelah polisi menggeledah sebuah rumah di Negara Bagian Hesse tengah, pada Ahad (6/1) malam. Penyelidik menemukan komputer yang dicabut tersangka dua hari sebelum pencarian, dan data back-up.

Namun dia telah dibebaskan dan setuju untuk bekerja sama dengan penyelidik. "Terdakwa mengaku telah bertindak sendiri dalam memata-matai data dan melakukan publikasi data yang tidak sah," kata Federal Crime Office (BKA), dalam sebuah pernyataan.

"Investigasi sejauh ini tidak memberikan indikasi adanya partisipasi dari pihak ketiga," kata pernyataan itu.

Kecurigaan sebelumnya menyasar peretas Rusia, yang bersalah karena insiden peretasan data yang pernah terjadi di Jerman sebelumnya. Akan tetapi tuduhan itu telah dibantah oleh Kremlin.

Ada juga spekulasi yang mengatakan peretasan itu mungkin melibatkan aktivis sayap kanan Jerman. Jaksa penuntut menolak mengomentari simpati politik apa pun yang mungkin dimiliki tersangka, tetapi mengatakan tidak ada bukti radikal yang ditemukan.

"Terdakwa mengatakan motivasinya adalah ia telah dibuat jengkel atas pernyataan publik yang dibuat oleh para politisi, jurnalis, dan tokoh masyarakat yang berpengaruh," kata jaksa senior Georg Ungefuk.

Ungefuk mengatakan kepada wartawan, tersangka menghadapi ancaman hukuman maksimal enam tahun di balik jeruji besi. Tersangka telah menyatakan bertobat dan tidak menyadari konsekuensi penuh dari tindakannya.

Pelanggaran tersebut telah mendorong disahkannya undang-undang keamanan data yang lebih ketat. Agen pertahanan dunia maya Jerman, Federal Office for Information Security (BSI), mengatakan telah dihubungi oleh anggota parlemen pada awal Desember tentang aktivitas mencurigakan di e-mail pribadi dan media sosial mereka.

Menjaga keamanan siber dianggap sangat penting oleh para pejabat Jerman. Steve Bannon, mantan kepala ahli strategi Presiden AS Donald Trump telah memberikan peringatan bahwa serangan di pemilihan Parlemen Eropa pada Mei mendatang dapat merusak Uni Eropa.

“Saya melihat adanya bahaya bahwa pemilihan Parlemen Eropa dapat dimanipulasi - dengan berita palsu, dengan pernyataan palsu. Ada banyak cara untuk dapat mempengaruhi pemilihan," ujar Menteri Dalam Negeri Jerman, Horst Seehofer, di Berlin.

Konstantin von Notz, seorang anggota parlemen dari Partai Hijau yang diretas, menggambarkan kasus ini sebagai sebuah tembakan peringatan terakhir. Ia menyerukan langkah-langkah mendesak untuk meningkatkan keamanan siber.

Seehofer mengatakan langkah-langkah untuk mengupayakannya sudah berjalan, termasuk menciptakan sistem peringatan dini. "Satu pelajaran penting adalah untuk meningkatkan kesadaran bahwa ada kata sandi yang lebih efektif daripada "iloveyou" dan "12345."," kata dia.

Namun, Sabine Vogt, yang mengepalai divisi kepolisian federal untuk kejahatan serius dan terorganisir, mengatakan hal itu tergantung pada individu untuk mengamankan data mereka. "Kami tidak ingin negara melakukan pengintaian didasarkan pada fakta bahwa sesuatu seperti ini dapat terjadi di sini," ungkapnya kepada wartawan.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement