REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW – Pemerintah Rusia pada Selasa (6/2) menyatakan siap mengembangkan sistem peluncuran rudal darat untuk melawan Amerika Serikat (AS).
Rencana tersebut seiring keluarnya AS dari Pakta Senjata Nuklir. Pakta tersebut akan berakhir pada awal 2021 mendatang.
Presiden Rusia, Vladimir Putin, mengatakan Rusia telah menangguhkan Pakta Senjata Nuklir yang melarang kedua negara menempatkan rudal darat jarak pendek dan menengah di Eropa.
Hal itu sebagai respons atas sikap AS yang memilih menarik diri dari perjanjian.
Dilansir dari Reuters, Rabu (6/2), Moskow dan Washington saling menuduh telah melanggar perjanjian Pakta Senjata Nuklir.
Sebelumnya, Washington menyatakan akan memulai penelitian, pengembangan, dan perancangan sistem rudal darat baru.
Putin akhirnya mengambil sikap dan akan melakukan hal yang sama seperti yang ditempuh AS.
“Militer Rusia harus sudah mulai bekerja untuk menciptakan sistem peluncuran rudal darat jarak dekat dan jarak jauh dengan kecepatan lima kali kecepatan suara,” kata Putin.
Menteri Pertahanan Rusia, Sergei Shoigu, telah membuat perintah kepada militer untuk memulai pekerjaan pengembangan sistem.
Sebagai orang dekat Putin, Sergei menginginkan agar sistem tersebut siap dipakai sebelum 2021.
“Pada 2 Feburari, Amerika Serikat menangguhkan kewajibannya dalam perjanjian nuklir,” kata dia.
Namun, pada saat yang sama mereka secara aktif membuat rudal darat dengan jangkauan lebih dari 500 kilometer yang berada di luar batas perjanjian.
“Presiden Putin, sudah memberikan tugas untuk mengambil langkah yang sama,” ujar Sergei.
Ia membatah tuduhan AS kepada Rusia bahwa telah melanggar Pakta Senjata Nuklir yang telah diteken sejak 1987 itu.
Menurut Sergei, AS telah membuat alasan palsu untuk bisa keluar dari perjanjian sehingga bisa mengembangkan rudal baru.
Duta Besar AS untuk Badan Perlucutan Senjata PBB, Robert Wood, mengatakan Pemerintah AS akan menimbang kembali rencana penarikan diri dari Pakta Senjata Nuklir.
Namun dengan syarat, Rusia mematuhi secara penuh perjanjian tersebut. “Ini adalah kesempatan terakhir Rusia untuk kembali pada kepatuhan,” ujar Wood.