Senin 16 Apr 2018 20:46 WIB

Rusia Bantah Rusak Bukti Serangan Senjata Kimia di Suriah

Menlu Rusia membantah penggunaan senjata kimia di Douma pada 7 April lalu.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Citra Listya Rini
Menlu Rusia Sergey Lavrov.
Foto: EPA
Menlu Rusia Sergey Lavrov.

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Rusia membantah telah mengganggu bukti di tempat yang diduga terkena serangan senjata kimia di Suriah yang menyebabkan intervensi militer hari Sabtu (14/4) oleh AS, Inggris dan Prancis. 

"Saya dapat menjamin bahwa Rusia tidak merusak tempat tersebut." kata Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov seperti dilaporkan BBC, Senin (16/4).

Lavrov berbicara saat pengawas senjata kimia OPCW (Organisasi Pelarangan Senjata Kimia) mengadakan pertemuan darurat. Para pengawas di Suriah masih belum mendapat akses ke Douma.

Duta Besar Inggris untuk OPCW, Peter Wilson, mengutip direktur jenderal organisasi itu mengatakan mereka masih menunggu. Delegasi Swedia mengatakan Suriah dan Rusia khawatir keamanan di lapangan tidak dapat dijamin. 

Hasil pertemuan di Den Haag masih dirahasiakan. Namun, Reuters melaporkan Duta Besar Amerika Serikat (AS), Kenneth Ward, menyatakan keprihatinan pasukan Rusia di sana mungkin telah merusak bukti.

Lavrov membantah lagi penggunaan senjata kimia di Douma pada 7 April. "Saya tidak bisa tidak sopan dengan kepala negara lain tetapi Anda mengutip para pemimpin Prancis dan Inggris dan AS dan, terus terang, semua bukti yang mereka kutip didasarkan pada laporan media dan media sosial."

Lavrov juga mempertanyakan mengapa AS dan sekutunya telah melakukan serangan udara sehari sebelum inspektur internasional tiba di tempat tersebut. Ia mengulangi pernyataan Rusia bahwa dua pertiga dari lebih dari 100 rudal yang ditembakkan ke Suriah pada hari Sabtu gagal mencapai target mereka.

Lavrov mengatakan deconfliction channel untuk mencegah bentrokan antara pasukan AS dan Rusia telah melakukan tugasnya dan konfrontasi belum dekat. Namun, ia menambahkan Rusia dan Barat menghadapi situasi yang lebih buruk daripada selama Perang Dingin karena kurangnya saluran komunikasi antara kedua belah pihak.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement