Senin 03 Dec 2018 08:44 WIB

Cegah Bentrok, Prancis Pertimbangkan Status Darurat Negara

Terdapat sekitar 31 ribu pengunjuk rasa dan 582 perintang jalan di seluruh Prancis.

Aksi demontrasi besar tolak kenaikkan harga BBM di Prancis.
Foto: BBC.com
Aksi demontrasi besar tolak kenaikkan harga BBM di Prancis.

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS— Prancis akan mempertimbangkan memberlakukan keadaan darurat guna mencegah kerusuhan terburuk dalam lebih satu dasawarsa terulang kembali dan mendesak pengunjuk rasa damai berunding. 

Sejumlah kelompok pemuda bertopeng, beberapa membawa batang logam dan kapak, terlibat kerusuhan di jalanan Paris tengah pada Sabtu (1/12). Perusuh itu membakar kendaraan dan gedung.

"Kami harus memikirkan langkah sehingga kejadian itu tidak terjadi lagi," kata 

kata juru bicara pemerintah Benjamin Griveaux pada Ahad (2/12) kepada Radio Europe 1.

Ketika ditanya tentang pemberlakuan keadaan darurat, dia mengatakan presiden, perdana menteri dan menteri dalam negeri akan membahas semua pilihan untuk mengatasi hal itu pada pertemuan Ahad.

Polisi Prancis menembakkan gas air mata, granat kejut dan meriam air dalam pertarungan dengan pengunjuk rasa "rompi kuning", yang berusaha menembus lingkaran keamanan di Champs Elysees di Paris pada Sabtu.

Peristiwa itu terjadi menjelang unjuk rasa ketiga menentang biaya hidup tinggi.

Polisi menyatakan 81 orang ditangkap di tengah kekhawatiran bahwa kelompok kanan-jauh dan kiri-jauh menyusup ke dalam gerakan "rompi kuning", pemberontakan akar rumput atas perjuangan banyak orang di Prancis untuk memenuhi kebutuhan.

Selama lebih dari dua pekan, "gilets jaunes" (rompi kuning) menutup jalan dalam unjuk rasa di seluruh Prancis, salah satu tantangan terbesar dan paling berkelanjutan bagi Emmanuel Macron dalam 18 bulan kepresidenannya.

Di Paris, pengunjuk rasa bertopeng dan berkerudung mengambil dan melemparkan penghalang kerumunan dan benda lain dalam pertempuran dengan polisi di sekitar Champs Elysee, jalan terbuka terkenal di dunia. Tiga polisi dan tujuh pengunjuk rasa terluka. 

"Pengacau itu sedikit dan tidak memiliki tempat dalam unjuk rasa tersebut," kata Griveaux kepada televisi LCI.

Perdana Menteri Edouard Philippe membatalkan rencana pidato pada rapat umum untuk partai Macron guna memantau perkembangan di Paris.

Ratusan "rompi kuning" duduk di bawah Arc de Triomphe di puncak jalan itu, menyanyikan "La Marseillaise", lagu kebangsaan Prancis, dan meneriakkan, "Macron mundur!"

Di depan lengkungan abad ke-19, yang menjulang tinggi, pengunjuk rasa menuliskan dengan huruf hitam besar, "Rompi kuning akan menang."

Sesudah beberapa jam pertempuran kecil pada pagi hari, pasukan keamanan muncul untuk membersihkan daerah di sekitar Arc, tempat perusuh dan pengunjuk rasa damai berbaur, mendorong mereka ke jalan di dekatnya.

Di sepanjang Champs Elysees, pengunjuk rasa damai membentangkan spanduk bertuliskan, "Macron, berhentilah memperlakukan kami seperti orang bodoh!"

Macron pada Selasa menyatakan memahami kemarahan, yang dirasakan pemilih di luar kota besar Prancis, atas tekanan bahwa harga bahan bakar berimbas pada rumah tangga, tapi bersikeras tidak akan tunduk pada perusuh untuk mengubah kebijakan.

Serikat polisi menyatakan di seluruh Prancis terdapat sekitar 31 ribu pengunjuk rasa dan 582 perintang jalan.

Pada sepekan lalu, ribuan pengunjuk rasa, yang tidak memiliki pemimpin dan sebagian besar mengatur diri lewat jaringan, berkumpul di Paris untuk pertama kali, mengubah Champs Elysee menjadi daerah pertempuran saat mereka bentrok dengan polisi, yang menembakkan gas air mata dan meriam air.

 

 

 

sumber : Reuters/Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement