Sabtu 16 Mar 2019 16:24 WIB

Serangan di Masjid Selandia Baru, di Mana Intelijen?

Intelijen dinilai gagal dalam mengantisipasi serangan dari supremasi kulit putih.

Rep: Puti Almas/ Red: Teguh Firmansyah
Evakuasi korban penembakan di Masjid Christchurch, Selandia Baru, Jumat (15/3).
Foto: Youtube
Evakuasi korban penembakan di Masjid Christchurch, Selandia Baru, Jumat (15/3).

REPUBLIKA.CO.ID, CHRISTCHURCH -- Pakar keamanan global, Joe Siracusa mengatakan, penembakan di dua masjid di Christchurch, Selandia Baru terjadi karena kegagalan intelijen negara itu.

Insiden yang terjadi tepatnya di Masjid Al Noor dan Masjid Lindwood itu pada Jumat (15/3) kemarin dilaporkan membuat setidaknya 49 orang tewas dan 42 lainnya harus mendapat perawatan di rumah sakit.

Baca Juga

Polisi mengatakan, sebanyak empat orang telah ditangkap terkait aksi brutal ini. Salah satu di antaranya adalah pria asal Australia Brenton Tarrant yang secara jelas merekam aksi penembakan.

Menurut Siracusa, apa yang terjadi antara Selandia Baru dan Australia menjadi pertanyaan atas mengapa serangan itu terjadi. Setiap kali teroris berhasil melakukan kejahatannya, kata ia, hal itu mengartikan ada kegagalan intelijen di dalamnya.

Ia bertanya-tanya mengapa pria semacam Tarrant seperti tak terpantau oleh Selandia Baru. Bahkan, sepertinya pelaku sempat mengirimkan pesan sebelum melakukan aksinya.  “Pria ini sepertinya sudah mengirimkan telegram dan segalanya,” ujar Siracusa dilansir 9news, Sabtu (16/3).

Siracusa menilai serangan ini tidak dilakukan sendirian, namun terorganisir oleh suatu jaringan. Hal ini semakin menambah keyakinan bahwa intelijen telah gagal bertindak.

“Ini adalah kegagalan besar dari intelijen,” kata Siracusa.

Ia berpendapat, Australia juga memiliki andil dalam kegagalan ini. Menurut Siracusa, kemungkinan besar serangan balasan tak akan terjadi. Namun, insiden ini bisa jadi memberi inspirasi bagi orang-orang dengan pikiran yang sama dengan pelaku.

“Hal-hal ini cenderung bergema,” kata Siracausa.

Teroris di seluruh dunia, menurut Siracausa menyukai jika tindakannya disorot oleh publik. Di Amerika Serikat (AS) dan Australia, pihak berwenang sangat menyadari ancaman terorisme supremasi kulit putih.

“Di Amerika, lebih banyak orang terbunuh oleh teroris sayap kanan, dibandingkan teroris internasional yang membunuh orang Amerika,” Siracausa menambahkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement