Ahad 01 Nov 2015 06:00 WIB

Takut Sulit Menikah, Gangguan Mental Gadis Gaza Diabaikan

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Ani Nursalikah
Seorang gadis Palestina yang rumahnya dihancurkan oleh gempuran Israel dalam perang 50 hari, menatap ke luar dari ruang kelasnya di sekolah yang dikelola PBB di Biet Hanoun, utara Jalur Gaza, 9 Januari 2015.
Foto: REUTERS/Mohammed Salem
Seorang gadis Palestina yang rumahnya dihancurkan oleh gempuran Israel dalam perang 50 hari, menatap ke luar dari ruang kelasnya di sekolah yang dikelola PBB di Biet Hanoun, utara Jalur Gaza, 9 Januari 2015.

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Maha, anak perempuan berusia sembilan tahun dari Palestina itu dilarang mendatangi dokter lagi ketika dinyatakan memiliki masalah kesehatan mental.

Penderita atau keluarga penderita gangguan stres pascatrauma (PTSD) tingkat akut, depresi dan stres di Palestina biasanya tidak pernah mencari pertolongan untuk mengatasi gangguan tersebut. Hal itu demi menghindari stigma perempuan 'dengan gangguan mental'.

Para pakar kesehatan mental mengatakan keluarga biasanya menghindari bertemu dokter jiwa demi reputasi keluarga. Mereka juga takut anak perempuan mereka susah menemukan jodoh akibat mendapat perawatan mental.

"Ada stigma umum dan kurangnya kepedulian seputar kesehatan mental," kata konsultan kesehatan publik di Al Quds University, Gaza, Bassam Abu Hamad.

Menurutnya, masyarakat berpikir gangguan mental berkaitan dengan kekuatan supranatural atau roh jahat.

Mereka, tambah Hamad, berpikir orang-orang dengan masalah mental telah kehilangan akal dan gila. Hamad mengatakan cerita Maha menunjukkan adanya penghalang besar bagi layanan medis Gaza untuk menjangkau penderita yang sangat butuh perawatan.

"Dalam kasus Maha, dokter mengatakan terus mengunjungi layanan kesehatan mental akan berimbas pada reputasinya, ia akan dicap bermasalah selamanya," kata Hamad.

Maha awalnya dibawa ke dokter karena epilepsi. Di Gaza, gejala tersebut ditangani bagian kesehatan mental.

Kondisinya memburuk karena konflik teritorial sejak tahun lalu. Rumahnya di Beit Hanoun dibom hingga hancur dan ia terpaksa lari. Maha kini mengeluhkan dihantui mimpi buruk setiap hari dan menderita depresi.

WHO memperkirakan ada peningkatan sekitar 15-20 persen dalam jumlah kasus orang yang menderita gangguan mental tingkat rendah atau medium. Jumlah sebelumnya hanya 10 persen di kondisi tanpa konflik.

Para pakar kesehatan memperkirakan hampir sepertiga populasi Palestina bisa menderita gangguan mental setelah apa yang terjadi, seperti kekerasan, kematian orang-orang yang dicintai, kehilangan rumah, dukungan, kehidupan. WHO memperkirakan jumlah orang yang menderita gangguan mental akut seperti yang menyebabkan halusinasi dan delusi meningkat 3-4 persen dari 2-3 persen.

Hamad mengatakan laki-laki juga rentan dengan gangguan mental. Namun stigma pada mereka tidak lebih parah daripada yang diperoleh perempuan. "Di komunitas ini, perempuan lebih mudah dicap dengan kasar," kata dia.

Pejabat kesehatan mental WHO di Gaza, Dyaa Saymah mengatakan stigma tersebut bisa muncul karena kesalahpahaman akan arti masalah mental. Menurutnya, masyarakat menilai masalah mental muncul karena faktor keturunan.

"Orang-orang percaya seorang ibu yang memiliki masalah kesehatan akan menurunkannya pada anak," kata Saymah.

Inilah yang membuat perempuan dengan stigma masalah mental akan dikhawatirkan sulit menikah. Faktanya, faktor genetis hanya salah satu faktor pemicu.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement