Rabu 19 Sep 2018 04:12 WIB

Separuh Pengguna Internet di Inggris Mendapat ''Serangan''

Serangan termasuk perundungan, pelecehan, serta malware atau pencurian siber.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Gita Amanda
Pengguna internet. (Ilustrasi)
Foto: Dailymail
Pengguna internet. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Hampir separuh pengguna internet di Inggris mendapat ''serangan'' secara daring. Serangan tersebut termasuk perundungan, pelecehan, serta malware atau pencurian siber.

Penelitian yang dilakukan oleh regulator Ofcom berusaha untuk menghitung jenis dan tingkat keparahan bahaya yang akan terjadi secara daring kepada orang-orang. Hal yang dianggap paling mungkin menjadi penyebab bahaya tersebut adalah interaksi jejaring sosial dan surat elektronik (surel).

Data penelitian tersebut diperoleh usai memberikan pertanyaan kepada hampir 2.000 warga Inggris. Dari sana ditemukan, 45 persen dari seluruh responden melaporkan, mereka telah mengalami beberapa bentuk kerusakan secara daring.

Ada empat bidang yang dianggap sebagai bahaya oleh Ofcom, di antaranya, konten daring yang orang lihat, dengar, atau tonton, interaksi dengan pengguna lain, data dan privasi, serta keamanan cyber dan peretasan. Pengalaman buruk yang dirasakan responden termasuk salah satunya adalah perundungan di media sosial setelah data dan informasi pribadi mereka dicuri.

Pada semua kategori tersebut, sekitar 20 persen orang melaporkan, pengalaman mereka termasuk ke dalam kategori sangat berbahaya. Mereka mengatakan, telah melaporkan konten yang menyinggung atau berbahaya ketika menemukannya.

Adanya perkataan yang mendorong kebencian, pelecehan, dan konten seksual ilegal menjadi konten-konten yang kemungkinan besar dilaporkan. Selain itu, banyak dari mereka yang merasa khawatir tentang efek kejadian ini terhadap anak-anak yang dapat dengan mudah mengakses internet.

Penelitian tersebut telah dirilis tak lama sebelum pimpinan Ofcom, Sharon White, memberikan pidato di konferensi Royal Television Society. Di mana dia mengatakan bahaya telah muncul karena kurangnya regulasi.

"Sementara regulasi konten online telah berkembang dalam beberapa tahun terakhir, ada perbedaan yang signifikan dalam apakah dan bagaimana itu diatur," katanya dalam sebuah pernyataan yang dirilis bersama penelitian, dikutip di BBC, Rabu (19/9).

White menyarankan, beberapa prinsip yang mendasar yang dapat ditunjukkan oleh penyiar Inggris dapat membantu membentuk peraturan untuk media sosial dan platform online lainnya. Bentuk akhir regulasi tersebut, kata dia, harus diserahkan kepada pemerintah dan parlemen.

Namun dia mengatakan, melihat cara penyiar menangani kebebasan berekspresi, transparansi, dan bagaimana penegakan peraturan dilakukan dapat memicu perdebatan. Jika denda dipilih sebagai hukuman, perusahaan online juga harus tunduk pada "hukuman keuangan yang berarti" jika mereka melanggar aturan atau gagal melindungi penggunanya.

Hal serupa juga dikatakan oleh Menteri Digital, Liam Byrne. Ia mengatakan, perusahaan bersih harus melakukan tanggung jawab mereka. Studi tersebut dilakukan saat perusahaan media sosial menghadapi pengawasan yang meningkat atas bagaimana mereka menangani konten yang berpotensi berbahaya atau tidak pantas.

Awal bulan ini, Jean-Claude Juncker, presiden Komisi Eropa, mengatakan Google, Facebook, dan Twitter harus menghapus konten ekstremis dalam satu jam atau menghadapi denda besar. Dalam pidato tahunan kenegaraannya di Parlemen Eropa, dia mengatakan, satu jam merupakan "jendela waktu yang menentukan".

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement