Senin 10 Dec 2012 22:33 WIB

DCG, Harapan Baru Penanganan Perubahan Iklim

Suasana Konferensi Perubahan ke-18di Doha, Qatar.
Foto: AP Photo
Suasana Konferensi Perubahan ke-18di Doha, Qatar.

REPUBLIKA.CO.ID, DOHA – Konferensi Perubahan Iklim ke-18 di Doha, Qatar, ditutup pada Sabtu (8/12) pada pukul pukul 20.00 waktu setempat, setelah melalui negosiasi dan lobi-lobi para pihak pada hari sebelumnya.

Presiden COP18/CMP8, Abdullah bin Hamad Al-Attiyah, menutup konferensi dengan beberapa keputusan penting.

Di antaranya mengenai kelanjutan Protokol Kyoto periode komitmen kedua,pengurangan emisi dengan ambisi yang lebih besar, serta pelaksanaan komitmen penyediaan pendanaan jangka panjang oleh negara maju untuk membantu negara berkembang melaksanakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

 

Keputusan yang tertuang dalam “Doha Climate Gateway” (DCG) tersebut tidak sepenuhnya memuaskan bagi Indonesia dan negara-negara berkembang lain, khususnya mengenai komitmen pengurangan emisi dan penyediaan pendanaan oleh negara maju.

 

Mengenai keberlanjutan Protokol Kyoto, sebanyak 37 negara maju dan Uni Eropa telah menyepakati pelaksanaan periode komitmen kedua (Second Commitment Period) selama 8  tahun terhitung sejak tanggal 1 Januari 2013. Negara-negara tersebut merepresentasikan kurang dari 20 persen emisi gas rumah kaca dunia.

Sedangkan tiga negara maju yaitu Rusia, Jepang dan Selandia Baru memutuskan untuk tetap menjadi anggota (negara pihak) Protokol Kyoto, namun tidak memiliki komitmen penurunan emisi. Sementara itu, Kanada bergabung dengan Amerika Serikat yang memutuskan untuk keluar dari Protokol Kyoto.

 

Menanggapi hasil keputusan Doha tersebut, Ketua Delegasi RI, Rachmat Witoelar, mengatakan Indonesia meminta negara maju menunjukkan kepemimpinannya dalam upaya pengurangan emisi.

“Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Rusia dan Selandia Baru diharapkan dapat membuat komitmen yang berimbang di dalam jalur lain di bawah konvensi perubahan iklim PBB,” kata Rachmat, dalam rilis yang dikirimkan kepada ROL, Senin (10/12).

 

Terkait pendanaan, negara maju hanya dapat menyetujui keputusan yang sifatnya “qualitative reassurance”, yaitu meyakinkan kembali bahwa mereka akan melaksanakan komitmen penyediaan pendanaan jangka panjang (long-term finance) yang dibuat di Copenhagen, Denmark pada COP15 tahun 2009.

Pada saat itu, negara maju berkomitmen untuk memobilisasi dana sejumlah 100 miliar dolar AS sampai tahun 2020 dengan catatan negara berkembang melakukan aksi mitigasi dan melaporkannya secara transparan.

 

Di Doha, negara berkembang meminta agar penyaluran pendanaan jangka panjang tersebut dimulai dengan kerangka tiga tahun (2013-2015), atau diistilahkan mid-term financing, dengan nilai dana 60 miliar dolar AS.

Angka konkret tersebut sangat diperlukan agar negara berkembang memiliki kepastian mengenai pendanaan yang tersedia untuk membantu mereka, khususnya mengenai komitmen pengurangan emisi dan penyediaan pendanaan oleh negara maju kepada negara berkembang untuk meningkatkan kegiatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

Enggannya negara maju untuk mendorong pembentukan mekanisme internasional //Loss and Damage menjadi hambatan dalam mempercepat aktivitas menekan dampak loss and damage akibat perubahan iklim.

 

Namun demikian, Indonesia melihat potensi dari diselesaikannya rencana kerja Komite Adaptasi sebagai peluang untuk dimanfaatkan sebagai langkah memperkuat adaptasi dan rencana aksi adaptasi di negara-negara rentan.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement