Sabtu 10 May 2014 18:00 WIB

Dua Pemimpin Konflik di Sudan Selatan Akhirnya Sepakati Perjanjian Damai

Rep: C73/ Red: Julkifli Marbun
Presiden Sudan Selatan, Salva Kiir
Foto: sudantribune.com
Presiden Sudan Selatan, Salva Kiir

REPUBLIKA.CO.ID, JUBA -- Kedua pemimpin yang berseteru di Sudan Selatan, akhirnya menyepakati perjanjian gencatan senjata. Kesepakatan damai tersebut dilakukan karena adanya tekanan internasional, untuk mencegah kelaparan dan kematian dalam jumlah yang lebih besar.

Kelompok pemerintah yang dipimpin oleh Presiden Salva Kiir dan kelompok oposisi yang dipimpin oleh Riek Machar, bertatap muka pada Jum'at (9/5) di Addis Ababa, ibukota Etiopia. Pertemuan tersebut adalah pertama kalinya, sejak kekerasan antara kedua kelompok pecah pada Desember 2013 lalu.

"Sekarang kita telah kembali kepada perasaan bahwa dialog adalah satu-satunya jawaban untuk masalah apapun. Kita akan terus bergerak ke arah yang benar," tutur Kiir setelah upacara penandatanganan di istana presiden, seperti dilansir oleh Aljazeera (10/5).

Menurut seorang pengamat permasalahan Afrika yang berbasis di London, Joseph Ocehieno, tekanan dari dalam wilayah Afrika dan Amerika Serikat menjadi pendorong lahirnya kesepakatan itu.

Kedua belah pihak yang berkonflik ini dituduh telah melakukan kekejaman pembunuhan, yang melibatkan rakyat Sudan Selatan. Hal tersebut kemudian mendorong munculnya kesadaran untuk bekerja sama.

Sementara itu, Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih, Susan E Beras, menyambut baik perkembangan di negara bagian Afrika Timur itu.

Menurutnya, konflik tersebut telah merampas harapan rakyat terhadap kemakmuran dan kedamaian yang selayaknya mereka dapatkan. Perjanjian tersebut diharapkan, dapat mengakhiri kekerasan yang telah memaksa ratusan ribu penduduknya mengungsi ke negara tetangga di sekitarnya.

Kekerasan di Sudan Selatan pecah antara kelompok pemerintah dan oposisi yang membelot dari militer pada Desember 2013 lalu. Konflik berawal dari sengketa kekuasaan antara pemimpin oposisi Machar dan Kiir, yang kemudian menyebar menjadi konflik antar etnik.

Presiden Kiir berasal dari etnik Dinka, sementara Machar dari etnik Nuer. Negara ini mendapatkan kemerdekaannya pada 9 Juli 2011.

Gencatan senjata sempat dilakukan pada 23 Januari 2014, namun kekerasan kembali berlanjut hingga menewaskan setidaknya 10.000 rakyat Sudan Selatan.

Pada 11 Februari 2014, pembicaraan damai antara kedua belah pihak berlanjut di Etiopia. Pada saat itu,  Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) meningkatkan krisis negara itu ke dalam status darurat level tiga. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement