Jumat 21 Nov 2014 19:45 WIB

Belajar dari Konflik Kosovo-Serbia

Rep: C14/ Red: Julkifli Marbun
Kosovo.
Foto: http://www.michaeltotten.com
Kosovo.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Forum Perdamaian Dunia (World Peace Forum, WPF) Kelima pada sore hari ini (21/11) memasuki sesi kedua di Century Park Hotel, Jakarta. Adapun sesi tersebut membahas konflik antara Kosovo dan Serbia. Para pembicara yang hadir antara lain Ahmet Shala, Anamari Repic, Kastriot Orana (ketiganya dari Kosovo), dan Imam Yahya Sergio YP, Wakil Ketua Islamic Religious Community, Italia.

Anamari Repic memaparkan konflik yang terjadi merupakan konflik etnis, yang kerap dibayang-bayangi isu agama. Meskipun telah disepakati perjanjian damai antara Kosovo dan Serbia pada April 2013, masyarakat dari kedua etnis ini masih mengalami segregasi sosial. Bahkan, sampai kepada kawasan perdesaan sekalipun.

"Ini merupakan halangan bagi terwujudnya perdamaian sejati," kata Anamari, Jumat (21/11).

Hal yang senada juga disampaikan Ahmet Shala. Duta Besar Kosovo untuk Jepang. Menurut Ahmet, yang paling mengkhawatirkan adalah generasi muda Kosovo. Sebab, resolusi damai pertama-tama bukanlah berkaitan dengan masa lalu atau generasi kini, melainkan demi hari depan anak-anak bangsa.

"Untuk itu, kesepakatan damai pada April 2013 lalu merupakan tonggak bagi kami membangun Kosovo kembali," kata Ahmet, Jumat (21/11).

Adapun resolusi damai tersebut merupakan hasil pertemuan antara Kosovo dan Serbia yang difasilitasi oleh Uni Eropa dan Amerika Serikat. Menurut Ahmet, ada cara khusus yang dilakukan oleh Uni Eropa terkait pemulihan situasi keamanan Semenanjung Balkan--kawasan tempat Kosovo dan Serbia berada. Cara tersebut adalah, Uni Eropa sengaja menyertakan unsur non-pemerintah yang berasal dari kalangan pemuka agama. Adapun delegasi yang diundang dalam perumusan resolusi damai itu antara lain berasal dari kalangan muslim, kristen ortodok, dan katolik.

"Dengan begitu, Uni Eropa berusaha mempromosikan keberagaman perspektif dalam membina perdamaian," ungkap Ahmet.

Pandangan yang sejalan juga diungkapkan Kastriot Orana, seorang diplomat Kosovo. Menurut Orana, pendekatan dari Uni Eropa itu meruangkan kontribusi tokoh masyarakat dalam membina perdamaian di lokalitasnya masing-masing. Dengan kata lain, upaya perdamaian menyertakan masyarakat dari bawah (down-top perspective), bukan lagi semata-mata didasarkan pada aturan pemerintah (top-down).

Adapun menurut Imam Yahya Sergio, resolusi konflik yang melibatkan pemuka agama hendaknya menghindari bahaya eksklusivisme. Sebab, kata Imam Yahya, selain dialog antar-umat atau antar-etnis, diperlukan juga dialog intra-umat beragama dan intra-etnis. Hal ini terutama untuk menghindari mono-penafsiran. Selain itu, untuk membuka kemungkinan penafsiran baru dalam setiap penyelesaian konflik.

"Kita juga harus akui, adanya perbedaan pendapat di antara saudara sebangsa dan seiman. Maka selain membuka diri terhadap pihak lain di luar identitas kita, perlu juga perhatikan keberagaman di dalam tubuh identitas diri," kata Imam Yahya, Jumat (21/11)

Imam juga menandaskan, pengalaman sekularisme di Eropa membuat identitas agama kerap dibayang-bayangi bahaya eksklusivisme. Artinya, meyakini bahwa hanya penafsiran sendirilah yang benar. Hal ini, kata Imam Yahya, mesti dikikis. Sebab, menjadi seorang Eropa berarti memiliki identitas religius yang peka akan ruang dialog.

Seperti diketahui, Kosovo memerdekakan diri dari Serbia pada Februari, 2008. Sejak saat itu, Serbia berusaha menghalang-halangi pengakuan kedaulatan Kosovo oleh dunia internasional. Namun, tekanan dari Serbia mulai berkurang pasca-ratifikasi Perjanjian Brussels pada April 2013. Adapun di wilayah Kosovo, etnis muslim Albania merupakan mayoritas. Sementara, etnis Kosovo merupakan minoritas dari segi jumlah penduduk namun cenderung berkuasa secara politik pada era sebelum kemerdekaan Kosovo.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement