Jumat 15 Apr 2016 05:16 WIB

Ini Alasan PM Prancis Ingin Larang Jilbab di Universitas

Rep: Gita Amanda/ Red: Julkifli Marbun
Perdana Menteri Prancis Manuel Valls.
Foto: Reuters
Perdana Menteri Prancis Manuel Valls.

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Perdana Menteri Prancis Manuel Valls telah mempertahankan sikap kerasnya terhadap masalah integritas Muslim di Prancis. Dalam sebuah wawancara dengan harian Liberation, Valls mengatakan akan mendukung larangan penggunaan jilbab di kampus-kampus di Prancis.

Seperti dilansir laman The Washington Post, Rabu (13/4), saat wawancara Valls mengatakan ia ingin dapat menunjukkan bahwa Islam secara 'fundamental' sesuai dengan nilai-nilai Prancis. Pernyataannya menyiratkan Islam tak cukup dapat diterima oleh masyarakat dan nilai-nilai Prancis selama ini. Saat didorong lebih lanjut dengan masalah ini, Valls mengatakan beberapa orang tak percaya bahwa Islam bisa menyatu dengan masyarakat Prancis.

"Mayoritas warga Prancis ragu, tapi saya yakin itu memungkinkan," katanya.

Kemudian dengan tegas Valls mengatakan, ia percaya sekularisme Prancis harus menggantikan identitas agama. Valls pun menyatakan dukungannya pada larangan penggunaan jilbab di universitas.

"Ini harus dilakukan, tapi ada aturan konstitusi yang membuat larangan ini sulit. Kami harus tanpa kompromi terkait aturan sekularisme di pendidikan tinggi," ujar Valls.

Prancis memiliki beberapa undang-undang paling ketat di Eropa terkait penggunaan cadar dan pakaian Islam lainnya di muka umum. Pada 2004, jilbab dan simbol-simbol agama lain seperti salib dan turban dilarang digunakan di sekolah negeri. Pada 2011 pemerintah Prancis melarang penggunaan niqab, jilbab yang menutupi seluruh muka, digunakan di ruang publik.

Pekerja pemerintah untuk pelayanan Publik di Prancis juga tak luput dari aturan ketat ini. Mereka tak diizinkan mengenakan apapun yang menunjukkan identitas agama.

Laporan surat kabar Inggris The Guardian menyatakan, banyak rekan-rekan Valls dengan cepat menolak sarannya melarang penggunaan jilbab di universitas. Menteri Pendidikan Tinggii Thierry Mandon mengatakan tak ada kebutuhan untuk undang-undang mengenai jilbab di universitas saat ini. Ia mengatakan mahasiswa merupakan orang dewasa yang memiliki hak mengenakan jilbab, dan jilbab tak dilarang di dalam masyarakat Prancis.

Hal senada diungkapkan Menteri Pendidikan Najat Vallaud-Belkacem. Ia mengatakan tak mendukung pelarangan jilbab di universitas. Menurutnya siswa dewasa memiliki kebebasan hari nurani dan kebebasan beragama, untuk melakukan apa yang mereka inginkan.

"Universitas juga memiliki banyak mahasiswa asing. Apakah kita akan melarang mereka karena dalam budaya mereka ada jenis pakaian tertentu yang harus dikenakan?" katanya.

Di masa lalu, mantan presiden Nicolas Sarkozy juga sempat menyarankan pelarangan jilbab di perguruan tinggi. Tapi para pemimpin universitas secara konsisten menyatakan oposisi yang kuat terhadap larangan apapun. Mereka mengatakan siswa mampu melakukan sesuai keinginan mereka dan diskriminasi terhadap siswa berjilbab adalah hal ilegal.

Kepala Observatory on Islamophobia dan anggota Dewan Muslim Prancis Abdallah Zekri menyatakan kekesalannya dengan pendapat Valls yang mengatakan umat Islam Prancis belum menunjukkan dirinya dapat kompetibel dengan kehidupan di Prancis.

"Kami muak dengan stigma (dan) wacana populis yang lebih buruk dari sayap kanan," ujar Zekri kepada televisi BFM.

Seorang anggota parlemen Sosialis Patrick Mennuci mengatakan di akun Twitternya, Valls semestinya berkonsentrasi pada masalah nyata lain di Prancis. Perdebatan soal pelarangan jilbab di universitas menurutnya merupakan hal yang tak perlu.

Jejaring sosial Twitter pun dibanjiri tagar bertuliskan #VraisProblemesUniversite. Mereka menyarankan Valls menyelesaikan masalah lain yang lebih penting, masalah nyata di Universitas.

Sejak serangan Paris November lalu, pemerintah Sosialias telah semakin keras terutama pada masalah keamanan, pengawasan dan keadilan. Valls baru-baru ini memperingatkan Salafi radikal telah memenangkan pertempuran ideolog dan budaya di Prancis. Meski Salafi mewakili satu persen Muslim di Prancis, tapi selama ini 'pesan' mereka adalah satu-satunya yang tak pernah didengar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement