Rabu 20 Jul 2016 11:30 WIB

Ribuan Warga Sudan Selatan Mengungsi ke Uganda

Sedikitnya 3.000 warga mengungsi di komplek PBB di Tomping, Juba, Sudan Selatan, Senin, 11 Juli 2016. Mereka menyelamatkan diri karena memanasnya pertempuran selama sepekan belakangan.
Foto: Beatrice Mategwa/UNMISS via AP
Sedikitnya 3.000 warga mengungsi di komplek PBB di Tomping, Juba, Sudan Selatan, Senin, 11 Juli 2016. Mereka menyelamatkan diri karena memanasnya pertempuran selama sepekan belakangan.

REPUBLIKA.CO.ID, JUBA -- Sebanyak 2.959 warga Sudan Selatan menyelamatkan diri ke Uganda untuk mencari perlindungan dan keamanan antara Jumat lalu (15/7) dan Ahad (17/7). Komisariat Tinggi PBB Urusan Pengungsi (UNHCR) mengatakan arus pengungsi tersebut diperkirakan terus mengalir dalam beberapa hari ke depan, sementara ketegangan masih tinggi.

Ketika berbicara dalam taklimat di Jenewa, Juru Bicara UNHCR Leo Dobbs mengatakan kedatangan pengungsi baru itu membuat jumlah orang yang telah menyelamatkan diri ke Uganda sejak kerusuhan terakhir di Sudan Selatan meletus pada 7 Juli jadi 5.015.

"Lebih dari 90 persen orang yang baru datang adalah perempuan dan anak yang berusia di bawah 18 tahun," kata juru bicara tersebut.

Ia menambahkan UNHCR memperkirakan banyak orang lagi akan menyelamatkan diri ke Uganda, terutama sekarang pos pemeriksaan di jalan Juba-Nimule sejauh 200 kilometer --yang menghubungkan Ibu Kota Sudan Selatan, Juba, dengan Uganda-- telah dibersihkan.

"Orang tiba di Uganda dalam keadaan lelah dan lapar. Banyak di antara mereka telah berjalan selama berhari-hari dengan membawa barang-barang mereka. Sementara itu yang lain menderita kekurangan gizi setelah berjalan tanpa makanan selama berhari-hari," kata juru bicara itu, sebagaimana dikutip Xinhua, Rabu (20/7).

Pertempuran baru meletus di Juba pada 7 Juli. Menurut data awal dari pemerintah, sedikitnya 272 orang telah tewas, termasuk 33 warga sipil selama bentrokan tersebut. Saat Sudan Selatan mencari penyelesaian bagi perdamaian rapuhnya, yang mengalami kemunduran akibat pertempuran pada awal Juli, masalah yang merongrong negara baru yang kaya akan minyak itu bukan cuma berpangkal pada Presiden Salva Kiir dan Wakil I Presiden Riek Machar.

Banyak pengulas yang diwawancarai Xinhua mengatakan masalah yang mengancam bisa membuat negeri tersebut tanpa pemerintahan berawal dari perjuangan kemerdekaan dari Sudan, dan kegagalan untuk melakukan pembaruan setelah penandatanganan kesepakatan perdamaian menyeluruh pada 2005. Tantangan tersebut, kata mereka, telah melahirkan kelompok milisi, kondisi tanpa undang-undang dasar dan kekebalan dari hukuman saat kelompok gerilyawan saat itu, Tentara/Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan (SPLM/A), terlibat pertengkaran di dalam jajarannya. Akibatnya ialah terjadi perpecahan yang berubah menjadi pertikaian suku.

Ketidak-sepakatan ideologi di dalam SPLM/A mengakibatkan kejadian seperti pembantaian Bor 1991, setelah Machar dan Lam Akol --yang kini menjadi Menteri Pertanian dalam pemerintah persatuan nasional-- memisahkan diri dari mendiang John Garang dan membentuk SPLA/Nasir. Meskipun kedua pihak menandatangani kesepakatan perdamaian yang kini goyah guna mengakhiri konflik lebih dari dua tahun, pertempuran baru pada Juli telah mengurai kerumitan bagi kesepakatan perdamaian yang diperantarai oleh Lembaga Pembangunan Antar-Pemerintah (IGAD).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement