Sabtu 13 Aug 2016 15:37 WIB

PPB Kirim Pasukan Tambahan ke Sudan Selatan

Rep: Melisa Riska Putri/ Red: Teguh Firmansyah
Dalam foto yang diambil Kamis, 14 Juli 2016 ini tampak warga Sudan Selatan mengungsi di kamp PBB di Juba.
Foto: Beatrice Mategwa/UNMISS via AP
Dalam foto yang diambil Kamis, 14 Juli 2016 ini tampak warga Sudan Selatan mengungsi di kamp PBB di Juba.

REPUBLIKA.CO.ID, JUBA -- Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyetujui pasukan penjaga perdamaian baru ke Sudan Selatan. Resolusi ini memungkinkan penyebaran 4.000 lebih personel pasukan PBB ke negara tersebut menyusul gelombang kekerasan terakhir.

Dewan Keamanan PBB menyetujui pengerahan tambahan pasukan penjaga perdamaian di Sudan Selatan. Dalam menanggapi suara pada Jumat, juru bicara Presiden Salva Kiir mengatakan, pemerintah tidak akan menerima keputusan PBB dan tidak akan bekerja sama dengan itu.

"Itu sangat disayangkan dan kami tidak akan 'bekerja sama' karena kita tidak akan membiarkan negara kita yang akan diambil alih oleh PBB," kata juru bicara Kiir Ateny Wek Ateny seperti dilansir Aljazirah, Sabtu (13/8). "Setiap kekuatan yang akan dsebut perlindungan Juba tidak akan diterima," lanjut dia.

Para anggota dewan mendukung rancangan resolusi dari Amerika sebelumnya pada Jumat dengan 11 orang dan empat abstain. Awal pekan depan, sebuah tim penilai akan menuju ke Sudan Selatan untuk memulai pengaturan penciptaan kekuatan perlindungan.

Sudah ada 12 ribu personel pasukan penjaga perdamaian yang telah berada di negara itu sejak merdeka dari Sudan pada 2011. Namun pasukan telah dikritik karena gagal menghentikan pertumpahan darah terbaru atau sepenuhnya melindungi warga sipil selama pertempuran.

Diperkirakan, 70 ribu orang Sudan Selatan sudah melarikan diri ke Uganda sejak pertempuran mematikan kembali dimulai pada Juli. 

Baca juga, Puluhan Ribu Warga Sudan Selatan Terancam Mati Kelaparan.

Perang saudara dimulai pada Desember 2013 ketika pasukan pemerintah yang setia kepada Presiden Kiir melawan pemberontak yang dipimpin Machar. Puluhan ribu orang tewas dalam pertempuran itu dan lebih dari dua juta orang mengungsi.

Kiir dan Machar menandatangani kesepakatan damai pada Agustus 2015 yakni menjadikan Machar wakil presiden pertama, tetapi pertempuran terus terjadi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement