Jumat 14 Oct 2016 09:23 WIB

Pemantau Perdamaian Sudan Selatan Kecam Lonjakan Kekerasan

Sedikitnya 3.000 warga mengungsi di komplek PBB di Tomping, Juba, Sudan Selatan, Senin, 11 Juli 2016. Mereka menyelamatkan diri karena memanasnya pertempuran selama sepekan belakangan.
Foto: Beatrice Mategwa/UNMISS via AP
Sedikitnya 3.000 warga mengungsi di komplek PBB di Tomping, Juba, Sudan Selatan, Senin, 11 Juli 2016. Mereka menyelamatkan diri karena memanasnya pertempuran selama sepekan belakangan.

REPUBLIKA.CO.ID, JUBA -- Pemantau perdamaian Sudan Selatan pada Kamis (13/10) mengecam meningkatnya kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia di negara termuda di dunia tersebut. Komisi Gabungan Pemantauan dan Penilaian (JMEC), yang mengawasi pelaksanaan kesepakatan perdamaian Agustus 2015 mengatakan pelanggaran kesepakatan gencatan senjata semacam itu tak bisa ditolerir.

"Kami sangat prihatin dengan peningkatan kekerasan dan pelanggaran mengerikan hak asasi manusia di seluruh negeri ini sejak Juli. Pelanggaran gencatan senjata semacam itu tak bisa diterima," kata Ketua JMEC Festus Mogae di dalam satu pernyataan yang dikeluarkan di Juba, Ibu Kota Sudan Selatan.

Mogae, yang juga adalah mantan presiden Botswana, telah mengtur pertemuan Pleno JMEC yang akan diselenggarakan pada 19 Oktober. "Saya mesti menyeru semua pihak dalam kesepakatan agar kembali ke meja dan memperlihatkan kepemimpinan yang layak diperoleh rakyat negeri ini," katanya.

JMEC akan menyerahkan laporannya ke anggota dewan, termasuk wakil Pemerintah Peralihan Persatuan Nasional, Pemegang Saham Sudan Selatan, negara anggota Lembaga Antar-Pemerintah mengenai Pembangunan (IGAD), mitra internasional dan teman-teman Sudan Selatan. Yang ada agenda ialah laporan mengenai pelanggaran gencatan senjata; keterlibat penuh dan keterwakilan di dalam proses politik; situasi kemanusiaan; dan pengelaran Pasukan Perlindungan Regional.

"Proses perdamaian telah menghadapi ujian besar pertamanya tapi kami takkan membiarkan kesepakatan itu tergelincir. Penyelesaian bagi konflik di Sudan Selatan hanya dapat ditemukan pada dialog dan terus diupayakannya pemerintahan yang damain, melibatkan banyak pihak dan bisa mewakili," kata Mogae.

Kesepakatan perdamaian Sudan Selatan yang ditandatangani pada Agustus 2015 antara tentara yang setia kepada Presiden Salva Kiir dan Tentara Pembebasan Sudan-yang Beroposisi (SPLA-IO), yang dipimpin mantan wakil presiden Riek Machar, giyah setelah Machar meninggalkan ibu kota setelah pertempuran sengit sehingga menewaskan 300 orang dan pengungsian baru ribuan orang ke negara tetangga, Uganda, Ethiopia, Sudan dan Kenya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement