Kamis 27 Oct 2016 10:02 WIB

WWF: Populasi Satwa Liar Turun 60 Persen Sejak 1970

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Ani Nursalikah
Gajah Afrika
Foto: AP
Gajah Afrika

REPUBLIKA.CO.ID, NAIROBI -- WWF mengungkapkan, populasi satwa liar seperti mamalia, burung, amfibi, dan reptil menurun hampir 60 persen sejak 1970. Zoological Society of London (ZSL) mengukur kelimpahan keanekaragaman hayati dan adanya penurunan 58 persen dari 1979 hingga 2012.

WWF memperkirakan tren itu akan berlanjut hingga 67 persen pada 2020. Penurunan tersebut merupakan tanda perubahan bumi ke era Anthropocene, istilah Yunani yang menunjukkan salah satu periode geologi.

Menurut WWF, upaya konservasi hanya memiliki dampak sedikit bagi populasi satwa liar. Pada 2010, WWF juga memperkirakan adanya penurunan 52 persen.

"Populasi satwa liar menghilang dalam kehidupan kita pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kita sedang memasuki era baru dalam sejarah bumi: Anthropocene," ujar Direktur Jenderal WWF Intenational, Marco Lambertini.

ZSL mengukur populasi sekitar 14.200 ekor dari 3.700 spesies vertebrata. Spesies itu mencakup berbagai ukuran, mulai dari katak kecil, hingga Paus sepanjang 30 meter.

Meningkatnya populasi manusia mengancam keberadaan satwa liar akibat pembukaan lahan untuk pertanian dan permukiman. Faktor-faktor lainnya adalah polusi, spesies invasif, pemburuan dan perubahan iklim.

"Tapi masih ada kemungkinan untuk membalikkan tren. Yang penting, mereka belum mencapai kepunahan," kata Direktur Sains di ZSL, Profesor Ken Norris.

Direktur Konservasi Global WWF Deon Nel, mengatakan dibalik itu masih ada hal positif yang bisa dilakukan. Salah satunya adalah kesepakatan global oleh hampir 200 negara terkait perubahan iklim, misalnya melindungi hutan tropis, memperlambat penyebaran wilayah gurun, dan menurunkan keasaman laut akibat penumpukan karbon dioksida.

Rencana PBB pada 2015 adalah melakukan pembangunan berkelanjutan pada 2030. PBB ingin memberikan kebijakan yang melindungi lingkungan dengan memulihkan beberapa spesies.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement