Selasa 11 Apr 2017 12:58 WIB

Inggris dan Jerman Setuju Tindakan Sepihak AS di Suriah

Rep: Puti Almas/ Red: Ani Nursalikah
Citra satelit DigitalGlobe pada 7 April 2017 menunjukkan bangunan yang hancur di bagian tenggara pangkalan udara Shayrat, Suriah akibat diserang rudal tomahawk AS.
Foto: DigitalGlobe via AP
Citra satelit DigitalGlobe pada 7 April 2017 menunjukkan bangunan yang hancur di bagian tenggara pangkalan udara Shayrat, Suriah akibat diserang rudal tomahawk AS.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Inggris dan Jerman mendukung tindakan sepihak yang dilakukan Amerika Serikat (AS) terhadap Pemerintah Suriah. Masing-masing pemimpin negara itu juga mengucapkan terima kasih atas langkah Negeri Paman Sam dalam memerangi rezim yang dipimpin oleh Presiden Bashar Al Assad pada Senin (10/4).

AS meluncurkan serangan rudal jenis tomahawk yang disebut dilakukan sebagai balasan serangan senjata kimia di Suriah pada Kamis (6/4) lalu. Setidaknya, ada 59 rudal yang ditembakkan ke pangkalan udara pemerintah di negara Timur Tengah itu.

Sebelumnya, serangan yang diduga menggunakan senjata kimia di Suriah kali ini terjadi di salah satu kota yang dikuasai oleh oposisi negara itu, Khan Sheikhoun, Provinsi Idlib. Kejadian yang berlangsung pada Selasa (4/4) lalu itu dilaporkan membuat lebih dari 80 orang tewas, termasuk 20 diantaranya adalah anak-anak. Dari foto-foto yang dirilis, terlihat banyak yang kesulitan bernapas dan kejang-kejang, sebagian mulut mereka mengeluarkan busa sebagai dugaan dampak dari racun kimia.

Tuduhan dari AS terhadap Assad disebut salah satunya didasarkan pada sebuah penyelidikan yang dilakukan PBB bersama dengan Organisasi Pelarangan Senjata Kimia (OPCW) pada Oktober 2016 lalu mereka menemukan bukti militer Suriah menggunakan bom klorin. Mereka melakukan beberapa kali serangan itu sepanjang konflik di negara itu sejak 2011, namun hal itu berlangsung sekitar pada 2014 dan 2015.

Jenis racun kimia yang diluncurkan dalam serangan saat itu diyakini adalah klorin. Assad kemudian diduga terkait langsung dengan perintah penggunaan senjata kimia. Ia disebut oleh penyellidik internasional bertanggung jawab bersama dengan saudara laki-lakinya karena melakukan salah satu jenis kejahatan perang itu.

Penggunaan senjata kimia dilarang di bawah hukum internasional dan termasuk dalam kategori kejahatan perang. Penyelidikan yang dilakukan saat ini di Suriah tidak memiliki kekuatan hukum.

Suriah juga bukan merupakan anggota dari Pengadilan kriminal Internasional (ICC). Namun, dugaan kejahatan perang dapat dirujuk ke ICC melalui Dewan Keamanan PBB.

Pada 2013 Pemerintah Suriah  pernah membuat kesepakatan untuk menghancurkan seluruh senjata kimia yang negara itu miliki. Perjanjian untuk melakukan tindakan itu dengan  ditengahi oleh Rusia dan AS.

Inggris melalui Perdana Menteri Theresa May mengatakan kepada Presiden AS Donald Trump saat ini AS harus berupaya membujuk Rusia untuk tidak lagi menjadi sekutu utama Assad. Ia menilai sangat penting bagi Negeri Paman Sam agar dapat berupaya melakukan hal itu sehingga rezim Pemerintah Suriah dapat bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukan.

"May dan Trump setuju bahwa saat ini adalah kesempatan untuk membujuk Rusia agar tidak lagi meneruskan aliansi dengan Assad karena itu bukanlah sesuatu yang menguntungkan," ujar pernyataan juru bicara May.

Kesempatan itu dinilai terbuka lebar dalam rencana kunjungan Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson ke Ibu Kota Moskow, Rusia pada pekan ini. Pertemuan di negara itu disebut sebagai langkah membuat kemajuan menuju solusi yang membuat penyelesaian secara politik untuk selamanya.

Jerman melalui Kanselir Angela Merkel juga menyatakan dukungan terhadap tindakan sepihak AS terhadap pemerintah Suriah. Ia menuturkan pentingnya mengancam rezim Assad untuk bertanggung jawab.

Baik May dan Merkel juga menekankan agar AS dapat meyakinkan masyarakat internasional, termasuk Cina untuk mencegah ancaman nuklir dari Korea Utara (Korut). Sebelumnya, AS juga menyatakan tindakan sepihak yang dilakukan terhadap Suriah juga menjadi peringatan untuk negara yang dipimpin oleh Kim Jong-un itu.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement