Sabtu 30 Sep 2017 06:42 WIB

PBB Perpanjang Misi Pencarian Fakta di Myanmar

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Endro Yuwanto
Tenda-tenda pengungsi Rohingya berdiri di atas bukit di wilayah Ukhia, Cox Bazar, Bangladesh, Kamis (28/9).
Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
Tenda-tenda pengungsi Rohingya berdiri di atas bukit di wilayah Ukhia, Cox Bazar, Bangladesh, Kamis (28/9).

REPUBLIKA.CO.ID,  JENEWA -- Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB, pada Jumat (29/9), mengumumkan akan memperpanjang waktu misi pencarian fakta di Myanmar hingga September 2018. Perpanjangan masa dilakukan untuk melanjutkan penyelidikan kasus penyiksaan, pembunuhan, dan pemerkosaan yang dialami Muslim Rohingya.

Dilaporkan laman Anadolu Agency, usulan terkait perpanjangan masa pencarian fakta di Myanmar ini diajukan oleh Estonia atas nama Uni Eropa. Usulan tersebut diterima PBB tanpa melalui persetujuaan atau suara dewan.

Kendati mendapat penentangan dari Myanmar, Filipina, dan Cina, namun Dewan HAM PBB di Jenewa tetap memutuskan untuk mengusut lebih dalam dugaan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan militer Myanmar. Kejahatan ini diketahui menjadi pemicu utama gelombang pengungsi Muslim Rohingya ke Bangladesh.

PBB, pada Kamis (28/9), mengungkapkan bahwa jumlah pengungsi Rohingya yang melintasi perbatasan Myanmar menuju Bangladesh telah mencapai setengah juta orang. Kendati gelombang pengungsi mulai surut, namun jumlah pengungsi Rohingya diperkirakan masih akan bertambah.

"Sebanyak 501 ribu pengungsi Rohingya saat ini berada di kamp dan tempat tinggal sementara di sekitar Cox's Bazaar, Bangladesh," ujar petugas komunikasi badan pengungsi PBB UNHCR, seperti dilaporkan laman Anadolu Agency.

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres juga memperingatkan tentang kemungkinan mengungsinya 250 ribu Muslim Rohingya dari pusat negara bagian Rakhine. Hal ini terjadi bila Myanmar tidak menghentikan operasi militernya di daerah tersebut.

Guterres mengatakan kepada Dewan Keamanan PBB bahwa bila kekerasan di Rakhine Utara tidak segera dihentikan, maka hal tersebut dapat mengancam nasib 250 ribu Muslim Rohingya lainnya yang tinggal di pusat daerah tersebut. "Kegagalan untuk mengatasi kekerasan sistematis ini dapat menjalar ke pusat Rakhine, di mana 250 ribu Muslim Rohingya berpotensi menghadapi pemindahan," ujarnya.

Krisis ini telah menimbulkan banyak implikasi bagi negara-negara tetangga dan wilayah yang lebih luas, termasuk risiko perselisihan antar-komunal. "Kita tidak perlu heran jika puluhan tahun diskriminasi dan standar ganda dalam pemulihan Rohingya menciptakan pembuka bagi radikalisasi," kata Guterres menjelaskan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement