Kamis 12 Oct 2017 12:13 WIB

PBB: Serangan Militer Myanmar Terkoordinasi dan Sistematis

Rep: Marniati/ Red: Esthi Maharani
Militer Myanmar di negara bagian Rakhine yang merupakan wilayah Muslim Rohingya tinggal.
Foto: AP Photo
Militer Myanmar di negara bagian Rakhine yang merupakan wilayah Muslim Rohingya tinggal.

REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYIDAW -- Kantor Hak Asasi Manusia PBB mengatakan pasukan keamanan Myanmar telah melakukan serangan yang terorganisasi, terkoordinasi dan sistematis. Tujuannya untuk mencegah anggota kelompok etnis Rohingya kembali.

Dilansir dari Aljazirah, Rabu (11/10), laporan PBB tersebut dibuat berdasarkan wawancara dengan kaum Rohingya yang tiba di Bangladesh pada bulan lalu.Menurut mereka, operasi pembersihan dimulai sebelum serangan bersenjata terhadap pos polisi pada 25 Agustus lalu.

Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Zeid Ra'ad al-Hussein yang telah menggambarkan operasi pemerintah Myanmar sebagai pembersihan etnis - mengatakan tindakan militer tersebut tampaknya merupakan taktik untuk memindahkan secara paksa sejumlah besar orang tanpa kemungkinan kembali.

"Informasi yang dapat dipercaya menunjukkan bahwa pasukan keamanan Myanmar sengaja menghancurkan harta milik orang-orang Rohingya dan membakar tempat tinggal dan seluruh desa mereka di negara bagian Rakhine utara, tidak hanya untuk mendorong penduduk berbondong-bondong tetapi juga untuk mencegah korban Rohingya yang melarikan diri untuk kembali ke rumah mereka," kata laporan kantornya.

Seorang gadis berusia 12 tahun yang dikutip dalam laporan tersebut mengatakan tentara dan warga sipil Buddha mengepung rumahnya sebelum melepaskan tembakan ke atasnya. Menurut pengakuan gadis tersebut, tentara memintanya pergi ke Bangladesh. Jika tidak pergi maka ia akan dibunuh dan rumahnya dibakar. Menurut PBB, hal ini diucapkan oleh tentara kepada semua Rohingya.

"Itu adalah situasi panik, mereka menembak adik perempuan saya di depan saya, dia baru berusia tujuh tahun. Dia menangis dan menyuruh saya berlari," kata gadis itu.

Ia berusaha untuk melindungi dan merawat adiknya, namun karena tidak mendapat bantuan medis maka adiknya meninggal. "Saya menguburnya sendiri," tambahnya.

Sebagian besar minoritas Muslim, yang tinggal di negara bagian Rakhine, tidak diakui sebagai kelompok etnis di Myanmar, meskipun telah tinggal di sana selama beberapa generasi. Mereka telah ditolak kewarganegaraan dan tidak berkewarganegaraan. Menurut PBB, lebih dari 500 ribu orang Rohingya telah meninggalkan Myanmar sejak militernya memulai sebuah operasi yang seolah-olah melawan para pejuang Rohingya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement